Kamis, Juli 17, 2025
No menu items!

Masih Adakah…?

Must Read

MASIH adakah Muslim semacam Abdurrahman bin Auf, Abu Bakar Shiddiq, Utsman bin Affan—kelompok orang kaya yang dengan suka hati mewakafkan hartanya untuk perjuangan amar ma’ruf nahi munkar sebagai jalan menuju keridaan Ilahi?

Masih adakah Muslim terpelajar, pandai, bijak, dan santun seperti Ali bin Abi Thalib, Salman al-Farisi, yang kokoh beristiqamah dalam garis perjuangan kebenaran dan keadilan?

Masih adakah pula muslim yang tegas, kuat, dan berani dalam menegakkan keadilan dan kebenaran serta welas asih kepada kaum duafa, semacam Umar bin Khattab, Khalid bin Walid?

Atau, paling tidak seperti Abu Sufyan yang baru bersyahadat di hadapan Muhammad Rasulullah ketika penaklukan Makkah, dalam rangkaian peristiwa haji wada’?

Yang ada hanyalah orang-orang kaya yang belum juga puas dengan kekayaannya.

Atas nama investasi dan keberlanjutan usaha, mereka menjalin hubungan dengan para penguasa untuk memperluas lapak, menambah dan terus menambah kekayaan di tengah lautan mustadh‘afin, kaum miskin, dan anak yatim. Sekadar karikatur penuh pencitraan, diteteskan dalam upacara yang dikawal bedil dan pamer seragam.

Yang ada hanyalah kaum intelektual yang banal, ndugal, membela orang kaya, dilindungi penguasa, dan menjilati kemewahan tanpa henti.

Yang ada hanyalah barisan pemberani berbintang dan berajudan, yang bersahabat dengan para penguasa dan orang-orang kaya yang katanya dipilih secara demokratis melalui peraturan perundang-undangan. Sebelum pensiun, mereka suka menebar ancaman kepada rakyat yang mencoba bersuara, mengkriminalisasi yang bersuara, dan bila perlu, turun ke lapangan mencopoti spanduk dan baliho, bahkan menyerang akun-akun di dunia maya.

Begitu pensiun, jabatan komisaris di badan usaha negara telah disiapkan. Bila perlu, diminta sebagai imbalan dalam transaksi politik.

Di tengah hutan, mereka bersatu atas nama kepentingan tahta, harta, dan wanita. Bila perlu, pesta narkoba dan tembak-menembak sesama mereka.

Di tengah hutan, bergelantungan monyet-monyet tukang sorak, yang sekaligus meludahi kebenaran atas nama penjilatan. Sekadar demi transfer recehan.

Hutan itu semakin gelap dan menyeramkan ketika desa, huta, gampong, dan nagari yang mengelilinginya justru mengamini tanda-tanda dari hutan itu. Mereka menuruti arahan hutan, sekadar diberi secuil makanan.

Di atas desa yang penduduknya menjaga kebodohan dan bersikap penurut, malas belajar, dan bekerja seadanya, hutan itu kini berubah menjadi cokelat, hitam, merah, dan hijau keruh, dengan mega kelabu memayunginya.

Yang ada ternyata bukan lagi yang kita cita-citakan dan doakan, melainkan kenyataan yang justru membelakangi harapan.

Karena, mungkin Tuhan telah terhalang oleh doa yang pamrih dan berbayar—doa yang kita panjatkan hanya sebagai hiburan, dengan satu kata: akhir zaman.

Sebagai justifikasi belaka atas kesia-siaan upaya, atas keterlaluan mencintai diri, kampungisme, dan sukuisme yang dibalut topeng nasionalisme.

Sebagai bukti bahwa konstitusi hanyalah ilustrasi, bukan uraian mimpi tentang bagaimana berbangsa dan bernegara.

Mari, apa pun bisa diatur, asalkan aku dan kalian akur dan dapat bagian dari dunia ini. Biarkan konstitusi mencari jalannya sendiri.

Dan Tuhan, bukankah Dia Maha Pengampun? (*)

APIK PTMA Rancang Program Bersama dengan KPI Pusat

JAKARTAMU.COM | Asosiasi Pendidikan Ilmu Komunikasi Perguruan Tinggi Muhammadiyah dan ‘Aisyiyah (APIK PTMA) melakukan audiensi dengan Komisi Penyiaran Indonesia...

More Articles Like This