MALAM itu, angin berkesiur lewat jendela tua di kamar ibu. Tirai putih bergetar pelan, menyingkap sedikit temaram lampu jalan di luar. Aku duduk di kursi rotan warisan kakek, berselimutkan kain tipis, memandangi ponsel yang diam di telapak tangan.
Pesanmu masih terpampang di layar:
“Apakah kamu akan pulang?”
Aku sudah membacanya puluhan kali. Setiap hurufnya seperti jarum yang mencongkel sisa keberanianku untuk benar-benar menjawab. Tapi tak ada yang lebih menyakitkan daripada menyadari: pelukan yang kupinta dulu sudah lama tak kau sediakan.
Aku meraih buku catatan, membuka halaman terakhir, menulis:
Kadang, aku hanya ingin dipeluk tanpa harus menjelaskan kenapa aku sedih.
Kadang, aku hanya ingin kau diam di sampingku, tanpa menawarkan solusi.
Kadang, aku hanya ingin diyakinkan bahwa rumah masih ada untukku.
Tapi entah sejak kapan, permintaan itu terdengar seperti beban bagimu.
Di halaman lain, aku menemukan coretan lamaku: “Cinta bukan hanya janji, tapi kesiapan untuk mengulang lagi ketika kepercayaan goyah.” Betapa jauh kalimat itu kini seperti jembatan yang sudah runtuh di tengah bentang sungai.
Aku terpejam. Mencoba mengingat lagi: kapan terakhir kali kau memelukku bukan karena kewajiban, bukan karena rasa bersalah, tapi karena sungguh ingin menenangkan? Barangkali sudah terlalu lama, sampai aku pun lupa rasanya.
Pagi datang dengan aroma kopi dan suara ibu yang menumbuk bumbu di dapur. Aku keluar kamar, duduk di meja makan. Ibu menatapku lama. Ada kekhawatiran di matanya, tapi juga keteguhan yang selalu membuatku iri.
“Kamu mau aku yang bicara pada dia?” tanya ibu. Suaranya lembut, tapi ada getar yang menyiratkan marah yang ditahan.
Aku menggeleng. “Tidak, Bu. Ini rumah tanggaku. Luka ini pun pilihanku.”
Ibu diam. Ia tahu aku keras kepala. Tapi ia juga tahu, keras kepala tak selalu berarti kuat. Kadang itu hanya cara lain agar tak jatuh berkeping.
Siang itu, aku duduk di beranda, menatap jalan kampung yang becek sehabis hujan. Beberapa kali ponselku bergetar. Pesan baru darimu, satu per satu, seperti upaya menebus waktu yang sudah terbuang.
> “Aku sudah di rumah.”
“Kapan kamu pulang?”
“Aku minta maaf.”
Tapi maaf yang datang tanpa pelukan tak lagi cukup. Karena luka yang tak pernah kau sentuh, tak pernah kau rawat, telah tumbuh menjadi dinding di dalam dada.
Aku belum membalas pesan itu. Aku hanya menatap langit yang pucat, mencari keberanian untuk menolak bukan karena benci, melainkan karena akhirnya aku paham: aku juga pantas dipeluk tanpa harus memohon.
Sore datang, membawa tetangga yang menanyakan kabar. Ibu menjawab seadanya. Aku hanya tersenyum tipis, pura-pura sibuk mengelap meja. Karena aku tak ingin mendengar kalimat simpati yang hanya akan menegaskan seberapa hancur aku di mata mereka.
Menjelang maghrib, kau menelepon. Nada panggilan panjang, menunggu aku mengangkat. Tapi aku tak sanggup. Karena aku tahu jika suaramu terdengar, pertahananku akan runtuh.
Aku menutup mata, menahan air yang menggenang di kelopak. Dalam hati, aku mengulang satu kalimat:
Aku belum siap kembali. Aku belum siap berpura-pura lagi.
Malam pun turun, menutup hari dengan sunyi yang akrab. Di kamar, aku berbaring memeluk bantal. Bukan pengganti siapa-siapa, hanya sekadar meyakinkan tubuhku sendiri bahwa aku masih punya sesuatu untuk kupeluk, meski hanya kain tak bernyawa.
Barangkali inilah yang paling menyedihkan: menanti pelukan yang tak pernah diminta, hanya dibayangkan dalam kepala. Karena pada akhirnya, bukan perpisahan yang paling melukai, tapi rindu yang tak punya alamat pulang.
Dan malam itu, di rumah ibu, aku pun terpejam dengan satu kepastian yang tak lagi bisa kubantah:
Jika suatu hari aku memilih pulang, bukan karena aku yakin pelukanmu akan menungguku. Tapi karena aku akhirnya siap memeluk diriku sendiri. (*)
(Bersambung, seri ke-16: Hari di Mana Aku Tak Menangis Lagi)