Kamis, Juli 17, 2025
No menu items!

Muhammadiyah dan Kebudayaan

Must Read

SAYA membaca dengan pelan. Kadang berhenti di ujung kalimat, bahkan di tengah-tengah penggalan. Menahan napas.

Kini sebagai lansia, saya mengenang masa kecil yang akrab dengan gamelan, wayang, dan pertunjukan. Termasuk bioskop.

Banyak pencinta seni, yang dulunya begitu menyatu dengan kebudayaan, menjauh setelah mengenal agama. Sebagian bahkan mencurigai seni dan budaya, termasuk memandang budayawan dengan kacamata subyektif.

Dianggapnya, kehidupan setelah kematian tidak membutuhkan kebudayaan, apalagi kesenian. Padahal beragama sendiri memerlukan penafsiran yang kontekstual. Dan bukankah penafsiran itu bagian dari kebudayaan?

Lihat saja bangunan masjid. Penataan air sebagai logistik penting dalam ibadah shalat—itu pun manifestasi kebudayaan. Ada proses pendidikan, pelatihan, hingga penanaman nilai: mulai dari teknik membangun, merawat, sampai pada moralitas dan kejujuran dalam hal akuntabilitas keuangan, takaran bahan bangunan, dan penggunaannya.

Semua itu tidak bisa hanya digantungkan pada berjuta doa. Tidak bisa pula diletakkan dalam kesepian seperti kuil di atas bukit.

Kebudayaan lahir dari keramaian interaksi kemanusiaan. Muhammadiyah tidak melarikan diri dari realitas ini. Ia menghadapi dan menjawabnya. (*)

APIK PTMA Rancang Program Bersama dengan KPI Pusat

JAKARTAMU.COM | Asosiasi Pendidikan Ilmu Komunikasi Perguruan Tinggi Muhammadiyah dan ‘Aisyiyah (APIK PTMA) melakukan audiensi dengan Komisi Penyiaran Indonesia...

More Articles Like This