PAGI itu, aku bangun lebih awal dari biasanya. Burung-burung di pohon mangga belakang rumah ibu berkicau riuh seakan sedang merayakan sesuatu yang tak kumengerti. Tapi entah mengapa, suara mereka terdengar lebih ramah daripada keramaian kota yang selama ini kupanggil rumah.
Aku berdiri di depan cermin. Rambutku kusut, wajahku masih letih. Tapi mataku lebih jernih. Ada kilau kecil yang dulu tak pernah sempat muncul karena selalu tenggelam di antara kecemasan dan pertanyaan tak berjawab.
Hari ini, aku memutuskan untuk keluar rumah. Bukan sekadar belanja kebutuhan. Bukan sekadar menunda kesedihan. Tapi berjalan, benar-benar berjalan, menuju tempat-tempat yang dulu menenangkan hatiku.
Kutata rambut seadanya, mengenakan blouse abu-abu, celana panjang yang sudah pudar warnanya. Tak ada riasan. Aku tak ingin tampak kuat. Aku hanya ingin tampak jujur.
Ibu bertanya pelan, “Mau ke mana?”
“Aku mau pergi sebentar, Bu,” jawabku sambil tersenyum. “Aku mau belajar mengenal diriku sendiri lagi.”
Ibu mengangguk, seolah mengerti. Karena hanya ibu yang tahu, rumah tangga yang retak tak selalu bisa diperbaiki dengan pulang lebih cepat atau berjanji lebih banyak. Kadang, yang kita perlukan hanyalah keberanian untuk menjauh sejenak.
Aku berjalan kaki menuruni gang. Aroma tanah basah menyapa hidung. Setiap langkah rasanya seperti langkah pertama setelah lama lumpuh. Kaki ini gemetar, tapi juga ringan.
Kuhampiri kios bunga di ujung jalan. Dulu, sebelum semuanya rumit, aku sering membeli bunga segar hanya untuk meletakkannya di meja makan. Sebentuk pengingat kecil bahwa hidup masih indah meski tak selalu sempurna.
Penjual bunga itu menatapku, tersenyum ramah. “Mau cari bunga apa, Mbak?”
Aku meraba kelopak mawar putih yang masih basah oleh embun. Jemariku gemetar pelan. “Yang tahan lama,” kataku. “Yang tak cepat layu.”
Dia meraih sekeranjang krisan kuning. “Kalau ini, kuat. Bisa bertahan lebih lama.”
Aku membelinya. Mungkin hanya bunga kecil, tapi entah bagaimana, memegangnya membuatku merasa sedang memulai sesuatu.
Setelah itu, aku duduk di bangku taman kampung. Anak-anak berlarian mengejar layang-layang. Seorang lelaki tua duduk di sebelahku, mengelus cucu kecil di pangkuannya. Suasana begitu sederhana, tapi membuat hatiku tenang untuk pertama kalinya sejak lama.
Aku menatap bunga krisan di pangkuan. Tiba-tiba teringat kata-kata yang pernah kubaca di buku usang di rak: Kadang yang kamu cari bukan orang lain, tapi dirimu sendiri yang hilang di perjalanan.
Aku menunduk. Dalam hening, aku mengakui: aku telah kehilangan diriku sendiri. Terlalu sibuk mempertahankan rumah yang tak lagi berpenghuni rasa. Terlalu sibuk menahan luka yang tak pernah kau coba sembuhkan.
Teleponku bergetar. Pesan darimu:
> “Aku ingin kita bicara.”
Aku membaca pesan itu lama. Lalu menatap langit yang pucat, mencoba menakar keberanian yang masih kupunya.
Dulu, setiap pesanmu membuatku ingin pulang, ingin segera membereskan semuanya, ingin meyakinkan diriku bahwa kita masih punya sisa cinta untuk dirawat.
Tapi pagi ini, aku sadar: tak semua yang retak harus disatukan lagi.
Aku menulis balasan, pelan, berhati-hati agar tak terdengar membenci:
> “Nanti. Aku belum siap.”
Hanya dua kalimat itu. Ringan, tapi bagi hatiku, itu adalah langkah kecil yang paling penting: memilih jeda tanpa rasa bersalah.
Menjelang siang, aku berjalan pulang dengan bunga krisan di tangan. Tak ada yang berubah di sepanjang jalan. Warung nasi tetap ramai. Tukang ojek tetap menunggu pelanggan. Hanya aku yang berbeda.
Karena untuk pertama kalinya, aku merasa sedang berjalan menuju seseorang yang paling lama kutinggalkan: diriku sendiri.
Dan langkah-langkah kecil itu meski gemetar, meski ragu adalah langkah paling jujur yang pernah kulakukan. (*)
(Bersambung seri ke-18: Percakapan yang Tak Pernah Selesai)