JAKARTAMU.COM | Di tengah dunia yang makin terobsesi pada performa, hasil instan, dan pengakuan publik, orientasi manusia pada kebaikan pun ikut berubah. Amal saleh, yang dalam ajaran agama ditanamkan sebagai ekspresi iman, kini sering kali direduksi menjadi sekadar sarana pencitraan. Kegiatan sosial disiarkan bak iklan, dan kerja-kerja kemanusiaan kerap ditakar berdasarkan viralitasnya.
Namun dalam surat Ali Imran ayat 190-195, Al-Qur’an menyodorkan kerangka berpikir yang sama sekali berbeda. “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal…” bunyi ayat 190. Ini bukan sekadar ajakan mengamati langit dan rotasi waktu, melainkan dorongan untuk membangun kesadaran spiritual dari tafakur kosmis. Perenungan yang, menurut Quraish Shihab dalam Tafsir al-Misbah, mesti bersanding dengan dzikir dan amal.
“Zikir tanpa pikir bisa menjadi kering, sementara pikir tanpa zikir bisa kehilangan arah,” tulis ulama yang juga mantan rektor IAIN Syarif Hidayatullah itu. Tafakur terhadap keteraturan semesta adalah jalan iman, bukan semata aktivitas intelektual. Dalam tafsir al-Kabir, Imam Fakhruddin Ar-Razi menyebutnya sebagai bentuk “kesempurnaan iman”—sebuah sintesis antara hati, akal, dan amal.
Janji untuk yang Tak Terlihat
Ayat-ayat itu kemudian mengalir pada satu pesan penting: bahwa iman sejati melahirkan amal saleh, dan tak satu pun amal akan disia-siakan. Surat Ali Imran ayat 195 mencatat janji itu dengan terang: “Sesungguhnya Aku tidak menyia-nyiakan amal orang-orang yang beramal di antara kamu, baik laki-laki maupun perempuan.”
Ini bukan janji kosong. Dalam dunia yang kerap mengabaikan kerja-kerja sunyi—dari aktivis pinggiran, pengajar di pelosok, hingga ibu yang mendidik anak-anaknya tanpa pamrih—ayat ini adalah bentuk penghargaan dari langit. Bahwa tak satu pun amal, sekecil apa pun, yang luput dari penghitungan Tuhan.
Muhammad Asad, dalam The Message of the Qur’an, menyebutnya sebagai “pengakuan spiritual atas nilai perjuangan manusia.” Bahkan jika dunia menutup mata, tulis Asad, langit mencatatnya dengan cermat. Dalam sistem Ilahi, keadilan bukan hanya menakar, tapi memuliakan.
Sayyid Qutb, ideolog Ikhwanul Muslimin yang dieksekusi pemerintah Mesir pada 1966, menyebut ayat ini sebagai jaminan Allah bagi mereka yang tetap setia dalam pengabdian. “Iman harus dibuktikan dengan amal, dan amal akan dibalas bukan hanya secara adil, tapi melampaui keadilan,” tulisnya dalam Fi Zhilalil Qur’an.
Kesetaraan yang Dibela Wahyu
Menariknya, janji itu ditegaskan tanpa diskriminasi gender. Dalam QS An-Nahl ayat 97 disebut jelas: “Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik…”
Ibnu Katsir menggarisbawahi ayat ini sebagai koreksi terhadap budaya jahiliah yang meminggirkan perempuan. “Tak ada perbedaan pahala antara laki-laki dan perempuan,” tulisnya dalam Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim. Ini bukan hanya dalil normatif, tapi basis etik kesetaraan dalam ajaran Islam.
Al-Raghib al-Asfahani, dalam karyanya Mufradat Alfaz al-Qur’an, menafsirkan “hayatan thayyibah” (kehidupan yang baik) sebagai keberkahan dalam hidup, ketenteraman batin, dan kejernihan tujuan. Hidup yang tak selalu mewah, tapi bermakna. Ini adalah “balasan dunia” dari amal yang ditautkan dengan iman dan keikhlasan.
Ketika Amal Tak Lagi Butuh Panggung
Dalam dunia yang terobsesi pada likes dan algoritma, keberanian untuk tetap berbuat baik dalam diam menjadi langka. Amal hari ini kerap dinilai dari impresi, bukan intensi. Maka, ayat-ayat dalam surat Ali Imran menjadi teguran lembut tapi tegas: bahwa ukuran kebaikan bukan pujian manusia, melainkan penerimaan Tuhan.
Logika Al-Qur’an tentang amal jelas: ia mesti lahir dari iman, dituntun oleh dzikir, dipertajam oleh pikir, dan dijalankan dengan keikhlasan. Ia tak perlu panggung. Tak perlu aplaus. Cukup dengan keyakinan bahwa Tuhan tahu, dan tak satu pun kerja baik akan disia-siakan.
“Dan Allah pada sisi-Nya pahala yang baik.” (Ali Imran: 195)