JAKARTAMU.COM | Di sebuah padang gersang, seorang Badawi memanggul gandum dan pasir dengan cara yang tak efisien. Unta menjadi saksi betapa logika kadang harus dikalahkan oleh keseimbangan. Tapi, ketika seorang filsuf menawarkan solusi yang masuk akal, logika itu justru ditolak. “Kecerdikanmu adalah kutukan,” ujar si Badawi. “Kebodohanku justru membawa berkah.”
Cerita Jalaluddin Rakhmat yang menggubah ulang kisah Jalal al-Din Rumi ini bukan sekadar dongeng. Ia sebuah cermin—untuk akal yang tak sampai dan hati yang terlalu ingin menyaksikan.
Dalam narasi penuh nuansa sufistik, Jalaluddin Rakhmat dalam tulisannya berjudul “Tuhan yang Disaksikan Bukan Tuhan yang Didefinisikan” dalam buku “Jurnal Pemikiran Islam Paramadina” menunjukkan bahwa Tuhan bukan untuk didefinisikan, melainkan disaksikan. Ia bukan objek berpikir, tapi subjek perjumpaan.
Ketika Nalar Tak Lagi Cukup
Dalam dunia modern yang dijejali teori, argumen, dan pengkotakan keyakinan, filsuf dan teolog tampil bak arsitek besar dalam peta iman. Tapi, bagi para sufi seperti Rumi dan Ibn ‘Arabi, bangunan itu rapuh. Tuhan, kata mereka, tidak tinggal dalam proposisi. Ia tak bisa disimpulkan dari premis-premis akal, tak bisa dijerat oleh logika atau metode ilmiah.
Ibn ‘Arabi menolak tajam upaya para mutakallimun dan filsuf yang ingin menjangkau Tuhan melalui silogisme. Baginya, pemikiran adalah jalan memutar. Dan seperti rumah-rumah di lorong sempit Andalusia, semakin jauh kita melangkah, semakin sempit pandangan kita. “Pengetahuan hasil pemikiran hanyalah tipuan,” tulisnya, “sedangkan pengetahuan sejati adalah yang turun melalui hati.”
Intelek Versus Intuisi
Kita hidup dalam era rasionalitas. Tapi tulisan ini mengajak menoleh ke arah yang jarang ditengok: bahwa tak semua yang terang datang dari logika. Dalam permenungan sufistik, hati bukan sekadar perasaan. Ia adalah instrumen episteme, alat untuk menyaksikan, bukan sekadar memahami.
Di sinilah kritik Jalaluddin Rakhmat menajam. Tuhan para filsuf adalah Tuhan yang statis, Tuhan dalam kotak definisi, Tuhan versi manual. Tapi bagi para pencinta Tuhan—para sufi—Tuhan adalah misteri yang hanya bisa disentuh lewat taqwa, cinta, dan perjumpaan. Apa yang tak sampai oleh argumentasi, bisa hadir melalui ilham.
Dari Gandum ke Hikmah
Jalaluddin Rakhmat tidak sekadar menyuguhkan kritik terhadap intelektualisme agama. Ia menawarkan horizon baru. Dari gandum dan pasir di punggung unta, kita digiring menuju bait-bait Matsnawi, ke perenungan Ibn ‘Arabi, hingga pada sosok Bunyamin yang difitnah namun tersenyum, karena ia tahu siapa Yusuf, dan karena itu ia rela dituduh asal tak kehilangan kehadiran sang kekasih.
Di titik ini, esai Rakhmat mengundang pembaca untuk merevisi paradigma: bahwa pengetahuan tertinggi tentang Tuhan bukanlah yang datang dari buku atau forum debat, tapi dari kesaksian batin. Liqa’, bukan ta’rif. Bertemu, bukan mendefinisikan.
Penutup yang Terbuka
Dalam gaya khas para sufi, narasi ini tidak selesai di titik. Ia membiarkan pembaca menggantung, mempertanyakan: selama ini kita percaya kepada Tuhan versi siapa? Versi dalil? Versi debat? Atau versi jiwa yang menyaksikan-Nya dalam zikir diam dan air mata?
Dalam dunia yang semakin bising, mungkin saatnya kita diam. Tidak untuk kehilangan arah, tapi agar bisa menyaksikan arah. Sebab, seperti Bunyamin dalam kisah Yusuf, yang tahu kehadiran tidak selalu butuh pembuktian.