Sabtu, Agustus 9, 2025
No menu items!

Menghidupkan Tanah Mati: Ketika Negara Bertindak Sesuai Syariat

Must Read
Miftah H. Yusufpati
Miftah H. Yusufpati
Sebelumnya sebagai Redaktur Pelaksana SINDOWeekly (2010-2019). Mulai meniti karir di dunia jurnalistik sejak 1987 di Harian Ekonomi Neraca (1987-1998). Pernah menjabat sebagai Pemimpin Redaksi Majalah DewanRakyat (2004), Wakil Pemimpin Harian ProAksi (2005), Pemimpin Redaksi LiraNews (2018-2024). Kini selain di Jakartamu.com sebagai Pemimpin Umum Forum News Network, fnn.co.Id. dan Wakil Pemimpin Redaksi Majalah FORUM KEADILAN.

JAKARTAMU.COM | Langkah pemerintah menyita lahan-lahan nganggur atau telantar yang dikuasai swasta dalam waktu lama, tanpa dimanfaatkan secara produktif, mengundang perdebatan publik. Namun di luar diskursus agraria modern, praktik semacam ini ternyata punya landasan dalam tradisi hukum Islam klasik.

Menurut Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) Pasal 27, negara dapat mencabut hak atas tanah yang telantar selama dua tahun berturut-turut. Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) mencatat bahwa lebih dari 100 ribu hektare tanah yang diklaim sebagai “telantar” telah diamankan negara hingga pertengahan 2025.

Dalam keterangan publiknya, pemerintah menyebut langkah ini sebagai bagian dari “pemerataan akses agraria dan pengendalian spekulasi tanah”. Tapi langkah ini juga membuka diskusi baru: benarkah negara berhak mencabut hak tanah milik warga? Apa dasarnya—terutama dalam perspektif agama?

Dalam khazanah Islam, hak atas tanah sangat erat dikaitkan dengan asas kemanfaatan. Bukan semata-mata hak milik statis, melainkan hak guna yang aktif. Ulama klasik menegaskan bahwa tanah yang tidak dimakmurkan dalam waktu tertentu dapat kembali menjadi milik umum atau negara.

Hak Milik Bersyarat

“Dalam hukum Islam, tanah yang dibiarkan tidak diolah selama tiga tahun berturut-turut bisa dicabut dari pemiliknya dan diberikan kepada orang lain yang mampu memanfaatkannya,” tulis Ahmad Azhar Basyir dalam “Hubungan Manusia dan Tanah dalam Islam” (Basyir, 1984: 49). Pendapat ini bersumber dari praktik Khalifah Umar bin Khattab yang mencabut hak milik atas lahan yang ditelantarkan dan membagikannya kepada petani penggarap.

Umar bin Khattab, menurut buku “Sistem Pemilikan dalam Islam” karya Wahbah az-Zuhaili (2002: 615), pernah mengatakan: “Tidak ada hak atas tanah bagi orang yang tidak memakmurkannya.”

Pemikiran ini diperkuat oleh kaidah dalam fiqh: “al-milk laa yabqa bi adami al-intifa’” maknanya, kepemilikan tidak tetap jika tidak ada pemanfaatan. Dalam kerangka ini, pemilikan tanah harus dikaitkan dengan tanggung jawab sosial: tanah adalah amanah, bukan komoditas pasif.

Konsep ini diterapkan melalui prinsip ihya al-mawat, menghidupkan tanah mati, yang menjadi dasar hukum kepemilikan dalam Islam. Dalam jurnal “Land Reform dalam Perspektif Islam” (Sholikhin, 2015), dijelaskan bahwa ihya al-mawat adalah pemberian hak milik kepada seseorang yang pertama kali menghidupkan tanah yang tidak bertuan. Namun, jika tanah tersebut kembali mati, hak itu bisa gugur.

Keadilan Agraria sebagai Maqashid Syariah

Pemikiran Islam tentang tanah juga berkelindan erat dengan prinsip maqashid syariah, yakni tujuan-tujuan luhur syariat seperti menjaga harta, kehidupan, dan kemaslahatan umum.

Dalam disertasinya di Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, Muchammad Arif, dalam “Rekonstruksi Hak Kepemilikan Tanah dalam Hukum Islam dan Implementasinya dalam Reforma Agraria” (2019), menekankan bahwa Islam membolehkan negara mencabut hak atas tanah milik pribadi jika pemanfaatannya bertentangan dengan keadilan sosial dan maslahat publik. Ia menyebut hal ini sebagai bentuk taqyid al-milkiyyah (pembatasan hak milik), yang dibenarkan untuk mencegah kerusakan (mafsadah) dan mewujudkan keadilan (‘adl).

“Negara dalam Islam berperan sebagai pengelola sumber daya agraria, bukan penjaga status quo pemilik besar,” tulis Arif.

Dari perspektif keadilan ekologis, tanah yang dibiarkan telantar juga berdampak buruk pada daya dukung lingkungan. Dalam buku “Fiqh al-Bi’ah” karya Abdullah bin Abdul Aziz al-Musleh (2010), disebutkan bahwa membiarkan tanah tidak dimanfaatkan sama dengan menelantarkan potensi kehidupan dan termasuk bentuk pemborosan sumber daya yang dilarang dalam Islam.

Bukan Sosialisme, Tapi Tanggung Jawab Sosial

Meski kerap disalahpahami sebagai bentuk sosialisme atau anti-investasi, konsep Islam tentang pengelolaan tanah justru menyeimbangkan hak individu dengan hak kolektif. Dalam “Fiqh al-Iqtisad”, Syaikh Yusuf al-Qaradawi (1995: 278) menjelaskan bahwa hak milik individu harus tunduk pada kewajiban sosial. “Negara boleh campur tangan ketika hak itu membahayakan masyarakat.”

Karena itu, kebijakan penyitaan tanah telantar oleh negara bisa dibaca sebagai upaya negara mengaktualisasikan fungsi tanah sebagai alat distribusi kesejahteraan, bukan sekadar objek spekulasi. Namun syaratnya: kebijakan itu harus dilakukan secara adil, transparan, dan tanpa tebang pilih.

Jika tidak, langkah ini bisa menjadi senjata bumerang: menyasar rakyat kecil, tapi melindungi pemilik besar. (*)

Tarif Rp80, Jalan Menuju Transportasi Inklusif

Oleh Zulfahmi Yasir Yunan | Ketua Pimpinan Wilayah Pemuda Muhammadiyah DKI Jakarta UNTUK merayakan ulang tahun ke-80 Indonesia, Pemerintah Provinsi...

More Articles Like This