JAKARTAMU.COM | Di tengah riuh perdebatan warisan intelektual Islam, satu kata ini tetap memantik silang pendapat: tasawuf. Benarkah ia diajarkan langsung oleh Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam? Atau hanya kebiasaan saleh para sahabat yang kemudian diberi nama? Atau justru, seperti dugaan sebagian peneliti, ajaran asing yang menyusup ke tubuh Islam di masa-masa belakangan?
Sejarah mencatat, tak satu pun riwayat sahih—bahkan dha’if—yang menyinggung kata “tasawuf” atau “sufi” di masa Nabi. Secara etimologis pun, ulama berselisih soal akar katanya. “Tidak ada akar kata yang jelas dalam bahasa Arab,” tulis Dr. Fahd bin Sulaiman al-Fuhaid dalam Nasy’atu Bida’i ash-Shufiyah (2012). Ini, kata dia, indikasi awal bahwa istilah itu lahir jauh sesudah masa sahabat.
Menurut kajian sejarah, benih tasawuf muncul di zaman Tâbi‘in, generasi setelah sahabat. Tanpa nama atau jargon mistik, mereka dikenal sebagai nussâk (ahli ibadah) dan zuhhâd (asketik). Irak, terutama Kufah dan Bashrah, menjadi pusatnya. “Sikap mereka berlebihan dalam mengekang diri,” tulis Dr. Fahd, “dan menambah-nambahkan yang tak ada pada sahabat.”
Satu kisah di Thabaqat Ibni Sa‘d (V/135) menggambarkan gejala ini. Bard, bekas budak Sa‘id bin al-Musayyib, bercerita melihat seseorang salat Zuhur lalu berdiri tegak hingga masuk waktu Asar. “Itu bukan ibadah,” tegur Sa‘id. “Ibadah adalah menaati perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya.”
Nama yang Mengemuka
Awal abad ke-2 Hijriyah, istilah sufi mulai terdengar. Ada yang menunjuk Abu Hâsyim al-Kûfi (wafat 150/162 H) sebagai pelopornya. Muhammad bin Ahmad al-Malthi asy-Syafi‘i, dalam at-Tanbîh wa ar-Radd, menyebut nama lain: Abdak (wafat 210 H), pemimpin firqah al-‘Abdakiyah yang mengharamkan dunia tanpa imam adil. Ibnu an-Nadim dalam al-Fahras bahkan menuding Jâbir bin Hayyan, murid Ja‘far ash-Shadiq dan penganut Syiah, sebagai orang pertama yang menyebut dirinya sufi.
“Perselisihan ini membuat sebagian peneliti menyimpulkan tasawuf adalah ajaran asing,” tulis Dr. Fahd, mengutip ash-Shilah baina at-Tashawwuf wa at-Tasyayyu’ karya Dr. Kamil asy-Syaibiy (hlm. 105).
Akhir abad ke-2 hingga abad ke-3 H, tasawuf memasuki tahap kematangan. Istilah-istilah seperti fana, ittihad, hulul, dan wihdatul wujud muncul. Sebagian, seperti al-Harith al-Muhasibi dan al-Junaid, mencoba memaknai secara selaras dengan syariat. Namun banyak yang membawanya ke tafsir ekstrem—hingga ke pintu zindik.
Ada pula perilaku nyeleneh. Ahmad an-Nawawi (wafat 295 H) pernah melempar 300 dinar hasil penjualan rumah ke sungai, sambil berkata kepada Allah, “Engkau ingin menipuku dengan uang-Mu?” (al-Luma’ fi at-Tashawwuf, hlm. 210).
Puncaknya, akhir abad ke-3 H, lahirlah tasawuf hulûliy ittihâdiy—gagasan manunggaling kawula lan gusti. Husain bin Manshur al-Hallaj, tokohnya, dihukum mati 309 H karena dianggap murtad. “Ujungnya wihdatul wujud: Tuhan dan makhluk satu,” tulis Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin dalam Taqrîb at-Tadmuriyah (hlm. 125-126).
Serapan Filsafat
Abbâs al-‘Azawi, sejarawan Irak (wafat 1391 H), mencatat pada akhir abad ke-3 Hijriyah, tasawuf ekstrem giat menyebar, terpengaruh filsafat Plato dan Hindu. Era penerjemahan buku Yunani mempercepat asimilasi ide mistik ke dalam jargon sufi. Tarekat-tarekat pun lahir, masing-masing fanatik pada syekh mereka.
Dari empat tahap sejarahnya—dari asketisme Tâbi‘in, kemunculan istilah awal abad ke-2 H, kematangan abad ke-3 H, hingga sinkretisme filsafat—garis besar terlihat: tasawuf sebagai istilah dan sistem bukan warisan langsung Nabi atau sahabat. Ia berkembang bertahap, dipengaruhi tradisi lokal, aliran teologi, hingga filsafat asing.
Ada juga pendapat Tasawuf yang sesungguhnya baru muncul pada abad ketiga Hijriyah. Ujungnya, bagi yang ekstrem, adalah keyakinan yang bertentangan dengan tauhid. (*)