SAMPAH plastik telah menjadi persoalan lingkungan yang terus memburuk di Indonesia, meskipun berbagai regulasi telah diterbitkan. Kelemahan pelaksanaan dan lemahnya pengawasan membuat berbagai kebijakan tentang pengurangan plastik sekali pakai sering kali tidak membuahkan hasil yang berarti.
Di sisi lain, sebagian besar produsen makanan dan minuman (mamin) dalam kemasan plastik tetap beroperasi. Model bisnis mereka belum sepenuhnya memperhitungkan dampak ekologisnya.
Botol air minum sekali pakai, kemasan mie instan, snack, dan aneka minuman ringan kini hadir di hampir semua ruang publik, dari mal, kantor, sekolah, hingga masjid dan terminal.
Tidak hanya menjangkau pusat kota, produk-produk ini telah menyebar hingga ke pelosok desa. Praktis, tak ada satu pun lapisan masyarakat yang luput dari paparan konsumsi plastik sekali pakai.
Peningkatan konsumsi ini tidak diiringi dengan sistem pengelolaan sampah yang memadai. Data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menunjukkan bahwa pada tahun 2020, Indonesia menghasilkan sekitar 67,8 juta ton sampah.
Dari jumlah itu, sekitar 17 persen adalah sampah plastik, setara dengan lebih dari 11 juta ton per tahun. Angka ini naik dari sekitar 9,5 juta ton pada 2015, menunjukkan tren pertumbuhan yang mengkhawatirkan. Bahkan menurut laporan World Bank tahun 2021, Indonesia menjadi penyumbang sampah plastik laut terbesar kedua di dunia, setelah Tiongkok.
Bukan hanya mengganggu estetika, dampak sampah plastik jauh lebih dalam. Mikroplastik telah ditemukan dalam tubuh ikan, air minum, bahkan dalam darah manusia. Studi yang dirilis oleh National Geographic menunjukkan, manusia modern bisa menelan hingga 5 gram mikroplastik setiap minggu, atau setara dengan satu kartu kredit.
Selain itu, biaya ekonomi akibat pencemaran sampah plastik di Indonesia diperkirakan mencapai Rp56 triliun per tahun, menurut kajian yang dilakukan oleh UNDP Indonesia bersama Bappenas. Sebagian pihak telah mencoba menawarkan solusi berbasis partisipasi publik.
Salah satunya adalah Plasticpay, sebuah gerakan yang mengintegrasikan teknologi digital dengan sistem pengumpulan sampah plastik. Lewat dropbox yang tersebar di perumahan, sekolah, hingga kantor kelurahan dan pondok pesantren, masyarakat bisa menukarkan botol plastik bekas dengan saldo dompet digital.
Di kawasan Grand Matoa, Cipedak, Jakarta Selatan, misalnya, dropbox Plasticpay telah menjadi bagian dari lanskap taman perumahan. Ini mencerminkan bahwa gerakan ini tidak lagi sekadar inisiatif lokal, melainkan telah menjangkau berbagai lapisan komunitas.
Meski demikian, program-program semacam ini tidak bisa berdiri sendiri. Pemerintah perlu memperkuat mekanisme tanggung jawab produsen, khususnya produsen makanan dan minuman kemasan, dalam menangani dampak lingkungan dari produk mereka.
Prinsip Extended Producer Responsibility (EPR) sudah seharusnya diterapkan secara konsisten dan tegas. EPR mewajibkan produsen untuk bertanggung jawab terhadap seluruh siklus hidup produknya, mulai dari desain hingga pengelolaan limbah pascakonsumsi.
Produsen memiliki posisi strategis untuk merancang ulang produk agar lebih mudah didaur ulang, menggunakan bahan kemasan yang ramah lingkungan, serta mendanai sistem pengumpulan dan pengolahan sampah. Sayangnya, hingga kini masih banyak perusahaan yang membatasi tanggung jawab mereka sebatas kampanye sosial media atau CSR simbolik, tanpa perubahan signifikan dalam produksi dan distribusi.
Pemerintah juga mesti memastikan bahwa peraturan mengenai pelabelan, komposisi kemasan, hingga sistem pelaporan sampah dijalankan dengan transparan. Penguatan pengawasan serta sanksi bagi perusahaan yang tidak patuh menjadi bagian tak terpisahkan dari reformasi pengelolaan sampah nasional.
Menghadapi laju pertumbuhan sampah plastik yang terus meningkat, peran produsen tidak bisa lagi dianggap sebagai pilihan moral semata. Dia mesti menjelma sebagai kewajiban ekologis, ekonomi, dan sosial yang harus ditagih secara sistematis melalui regulasi yang kuat, mekanisme insentif yang adil, dan sistem pemantauan yang transparan.
Tanpa itu, gerakan publik sebaik apa pun akan tetap kesulitan menandingi skala produksi dan distribusi plastik sekali pakai yang dikendalikan oleh segelintir korporasi besar. (*)