Sabtu, Juli 12, 2025
No menu items!

Wartegmu, Potensi Amal Usaha Baru Muhammadiyah

Must Read

WARTEG alias warung Tegal telah menjelma menjadi bagian penting dari ekosistem urban. Lihat saja Warteg Putra Bahari, misalnya. Warung makanan ini buka 24 jam dan relatif ramai dikunjungi lintas kelas sosial. Umumnya warteg menyediakan makanan rumahan dengan harga terjangkau.

Populer disebut “warung Tegal”, tetapi di daerah asalnya pemiliknya sebutan itu justru jarang dipakai. Dalam ingatan sebagian generasi muda era 1990-an, warteg punya tempat tersendiri. Ia adalah ruang pembuktian kejujuran dan kesederhanaan dalam hubungan. Ada yang bercanda, bila ingin tahu seberapa tulus seorang pasangan, ajaklah dia makan di warteg, bukan di restoran mewah atau food court mal.

Meski berangkat dari segmen menengah ke bawah, banyak warteg kini tampil dengan wajah baru, lebih rapi dan lebih nyaman. Target sasarannya jelas naik dari ekonomi bawah ke kelas menengah, khususnya pekerja.

Menarik membayangkan bila brand warung yang ramai itu adalah “Warteg Putra Muhammadiyah” atau “Warteg Putri Aisyiyah”. Kalau bisa teralisasi, maka telah muncul lagi satu inovasi jaringan amal usaha Muhammadiyah di bidang ekonomi, yang selama ini identik dengan pendidikan dan kesehatan.

Muhammadiyah dikenal luas karena amal usahanya yang berskala besar: sekolah, madrasah, pondok pesantren, universitas, hingga rumah sakit. Namun di sekitar kampus dan rumah sakit—baik milik Muhammadiyah maupun milik swasta—usaha kecil seperti warteg justru tumbuh subur. Sejak sekitar tahun 2015, banyak warteg di area tersebut mulai buka 24 jam, melayani mahasiswa, pasien, tenaga medis, dan warga sekitar.

Melihat dari dekat, usaha warteg menyimpan potensi besar. Segmennya luas, karena setiap orang butuh makan. Kalangan pekerja, mahasiswa, bahkan profesional muda tak segan bersantap di warteg, karena praktis, cepat, dan cukup bersahabat di kantong. Namun potensi ini belum banyak dimanfaatkan oleh pimpinan perguruan tinggi atau rumah sakit Muhammadiyah untuk menjadi bagian dari amal usaha mereka.

Biasanya, di lingkungan kampus atau rumah sakit Muhammadiyah, hadir koperasi yang menjalankan usaha kantin atau fotokopi. Tapi dalam praktiknya, mahasiswa dan pasien justru lebih sering makan di luar lingkungan koperasi—lebih tepatnya, di warteg yang berdiri persis di seberang pagar institusi.

Model layanan warteg juga beragam. Umumnya konsumen menunjuk lauk di balik etalase kaca, lalu pelayan mengambilkannya. Tapi kini banyak pula yang mengusung gaya prasmanan. Warteg modern bahkan melengkapi menu mereka dengan mie instan, mie bakso, soto, nasi goreng, pecel lele, rokok, dan aneka minuman kemasan—menyesuaikan kebutuhan pelanggan, terutama di sekitar rumah sakit.

Tak hanya itu, model bisnis waralaba warteg tengah menjamur. Beberapa merek yang cukup dikenal di antaranya Warteg Kharisma Bahari, New Bahari, Selera Bahari, Warteg Impian Bahari, hingga Citra Bahari. Skema kemitraan mereka memungkinkan siapa pun membuka cabang dengan modal mulai dari puluhan juta hingga ratusan juta rupiah, tergantung pada paket dan kelengkapan layanan.

Dengan perkembangan ini, pimpinan cabang atau daerah Muhammadiyah yang memiliki akses pada lahan strategis di sekitar kampus atau rumah sakit bisa mempertimbangkan pendirian Wartegmu sebagai bentuk amal usaha baru. Ini adalah peluang sektor riil yang bisa dikembangkan, tanpa harus selalu terpaku pada bentuk AUM yang konvensional seperti sekolah, pesantren, atau minimarket. (*)

Biar Orang Miskin Tak Ketagihan Bansos, BP Taskin Gagas 9 ”Amal Usaha”

JAKARTAMU.COM | Strategi nasional untuk mengentaskan kemiskinan akan bergeser dari pola bantuan konsumtif menjadi pembangunan ekonomi berbasis produktivitas. Kepala...

More Articles Like This