Senin, Mei 5, 2025
No menu items!

Nilai Strategis Gagasan Prabowo Bangun Kampung Indonesia di Makkah

Must Read

KETIKA Presiden Prabowo Subianto mengumumkan niatnya membangun Perkampungan Indonesia di dekat Masjidil Haram, banyak yang mengangkat alis, antara kagum dan ingin tahu. Ini bukan gagasan biasa. Ini sebuah visi besar yang memadukan pelayanan ibadah, diplomasi kultural, dan kepedulian negara kepada umat. Apalagi, respons positif telah datang dari Putra Mahkota Arab Saudi, Pangeran Mohammed bin Salman. Maka, tidak berlebihan jika ini disebut sebagai rencana strategis lintas batas.

Pernyataan itu disampaikan saat Presiden meresmikan terminal khusus Haji dan Umrah di Bandara Soekarno-Hatta pada 4 Mei 2025. Di tengah suasana penuh haru dan harap dari para calon jemaah haji, terutama mereka yang sudah lanjut usia, tersirat sebuah kesungguhan negara untuk menjadikan ibadah ini bukan sekadar ritual spiritual, tetapi pengalaman yang penuh martabat dan kehangatan.

Selama ini, jemaah Indonesia memang dikenal dengan jumlahnya yang terbesar di dunia. Setiap tahun, ratusan ribu orang berangkat membawa harap dan doa. Namun, di balik angka itu, terselip beragam tantangan: cuaca ekstrem, lokasi pemondokan yang jauh, makanan yang tak cocok, hingga kesulitan bahasa yang membuat sebagian jemaah merasa asing di tanah yang suci. Maka, bayangkanlah bila ada satu kawasan khusus, tempat jemaah bisa mendapatkan makanan khas Nusantara, bertemu petugas berbahasa Indonesia, dan tetap merasa “di rumah” meski berada di jantung Makkah. Sebuah surga kecil yang tak hanya menenangkan jiwa, tapi juga memuliakan ibadah.

Gagasan ini, tentu saja, bukan tanpa tantangan. Pertama Arab Saudi bukan negara yang mudah dalam pengelolaan tata ruang di sekitar Masjidil Haram. Butuh diplomasi yang cermat, kerja sama multilateral, dan kepatuhan pada aturan setempat. Namun, dengan sambutan positif dari MBS, peluang itu terbuka lebar.

Kedua, apakah proyek ini akan dibiayai oleh APBN? Atau dikerjakan lewat skema KPBU (Kerja Sama Pemerintah dengan Badan Usaha)? Atau justru akan melibatkan BUMN-BUMN strategis seperti PTPP, WIKA, atau bahkan Garuda untuk mengelola operasionalnya? Transparansi menjadi kunci agar proyek ini tidak menjadi beban keuangan negara, melainkan justru menjadi investasi spiritual dan sosial yang berkelanjutan.

Ketiga, mendirikan perkampungan bukan berarti mengisolasi diri. Ia harus tetap menjadi bagian dari semangat ukhuwah Islamiyah global. Indonesia hadir bukan sebagai tamu yang egois, tetapi sebagai saudara yang ingin menyatu dan melayani. Sebuah simbol keislaman yang ramah, terbuka, dan hangat seperti semangat Tanah Air kita.

Dalam konteks ini, kita melihat ada benang merah dengan visi spiritual yang pernah digulirkan dalam kisah-kisah ziarah ke Masjid Al-Aqsa atau pengalaman kuliner Palestina yang menggugah jiwa. Bahwa pelayanan terhadap jemaah bukan hanya soal logistik, tetapi juga soal cinta dan kepedulian. Ada semangat dakwah yang menyejukkan, bukan sekadar pembangunan infrastruktur.

Lebih jauh lagi, perkampungan ini bisa menjadi panggung diplomasi budaya. Bayangkan bila Indonesia memiliki pusat kuliner, galeri batik, hingga tempat kajian keislaman di jantung Makkah. Dunia akan melihat Islam Indonesia yang damai, santun, dan kaya warna. Ini bukan hanya menambah nilai ibadah, tetapi juga menguatkan peran kita dalam percaturan dunia Islam.

Namun, agar ini tidak menjadi sekadar proyek mercusuar, perlu partisipasi publik. Kita perlu mengawal rencana ini dengan doa, dukungan moral, dan kontrol sosial. Jangan sampai niat baik ini dirusak oleh ego sektoral, tumpang tindih birokrasi, atau kepentingan sempit. Ini adalah proyek ummat, dan harus dikerjakan dengan ruh keikhlasan.

Perkampungan Indonesia di dekat Masjidil Haram bisa menjadi warisan peradaban. Sebuah jejak spiritual dan diplomatik yang menandai betapa seriusnya Indonesia merawat jemaahnya. Jika berhasil, dunia akan menoleh, bukan karena kemewahan bangunan, tapi karena kemuliaan niat dan keberpihakan kepada umat.

Dan bila suatu saat, seorang jemaah tua yang tertatih berjalan di pelataran Masjidil Haram lalu menemukan warung Soto Betawi, tempat berteduh, dan suara petugas yang menyapanya dengan lembut dalam bahasa ibu—maka saat itulah kita tahu, bahwa negara telah hadir dengan cara paling mulia.

Semoga gagasan besar ini tak hanya hidup dalam pidato, tetapi mewujud nyata dalam pelayanan dan kasih sayang kepada setiap jemaah yang merindukan Baitullah. (*)

Ketika Dusta Telah Dibingkai dengan Pembenaran

SAAT dusta disulam dalam kata, dibingkai rapi atas nama logika, kebenaran terdiam dalam luka, menggigil di ujung suara yang dibungkam dunia. Saudaraku, ini bukan...
spot_img
spot_img

More Articles Like This