Oleh: Asyaro G Kahean
JAKARTAMU.COM | Setiap manusia, normalnya, mengejar kemuliaan bagi dirinya. Hanya, banyak di antara kita sering salah persepsi. Ada yang mengukur kemuliaan hanya dengan kedudukan dalam status sosial, ada juga yang mengukur pada kepemilikan harta benda. Sedangkan Allah, mengukur kemuliaan seseorang dari taqwanya.
Muqaddimah
Salah sebuah ayat Alqur-an memberikan sebuah cara pandang, bahwa orang yang paling mulia di sisi Allah adalah siapa yang paling bertaqwa. Sayangnya, ayat ini kadang hanya menjadi bahan pembicaraan saja, tanpa upaya sungguh-sungguh dari seseorang untuk mencapai derajat taqwa, sebagai ukuran kemuliaan bagi diri sendiri di hadapan Allah.
Memang, banyak sekali orang yang mengaku bertaqwa kepada Tuhan Yang Mahaesa. Akan tetapi, perilakunya sehari-hari tidak menunjukkan ketaqwaan sebagaimana yang dikehendaki Alqur-an. Bahkan, ia cenderung menjauhi nilai-nilai qur-ani. Taqwa yang demikian, hanyalah berada pada ucapan dan belum merasuk pada penjiwaan makna taqwa sebenarnya.
Menjiwai Taqwa
Sudah semestinya, yang menjadi rujukan utama adalah ayat Alqur-an yang memberikan cara pandang mengenai kemulian bagi seseorang dalam bangun taqwallah, antara lain;
“Sesungguhnya orang yang paling mulia di sisi Allah siapa yang paling bertaqwa di antara kamu…“. (QS. Alhujarat; 13 ).
Berangkat dari ayat sebagai rujukan di atas, antara pikiran dan hati perlu melakukan kesepakatan khusus mengenai kata taqwa, yang dalam pembahasan ini menjadi key word (kata kunci). Dalam hal ini, taqwa sekaligus sebagai acuan karena taqwa merupakan ukuran kemuliaan bagi seseorang di hadapan Allah Azza wa Jalla.
Dari kata kunci tersebut seyogianya kita coba untuk lebih menghayati, sehingga taqwa tak hanya berada pada ujung lidah (ucapan) saja, tetapi juga merasuk ke dalam lubuk jiwa. Manakala taqwa telah merasuk ke dalam lubuk jiwa, harapan berikut adalah terjadinya kesesuaian antara ucapan dan tindakan, karena taqwa juga merupakan gelar kemuliaan tertinggi bagi seseorang di hadapan-Nya.
Itu berarti, pengukuran kemulian pada diri seseorang bukan lagi berada hanya pada kedudukan dalam status sosial, juga bukan hanya diukur dengan kepemilikan harta benda. Akan tetapi, taqwa itu justru menjadi ukuran dalam menentukan mulia atau tidak mulianya seseorang.
Kesesuaian Ucapan dan Tindakan
Kesesuaian ucapan dan tindakan menjadi alasan manakala sorotannya pada sisi pengakuan taqwa, sebagaimana banyak orang yang mengaku “bertaqwa kepada Tuhan Yang Mahaesa”. Pengakuan semacam ini, setidaknya, menjadi mata rantai permasalahan tersendiri, karena masih diperlukannya kesesuaian-kesesuaian baik yang mendasari pengkuan itu mau pun pada tingkat ucapan serta tindakan nyata.
Sebelum melangkah lebih jauh, dengan berpedomankan ayat di atas, marilah kita merenung sejenak; Tingkat pengakuan taqwa seperti apakah yang selama ini terucapkan, serta bagaimanakah upayanya dalam mencapai kemuliaan sebagai derajat tertinggi di hadapan Allah?
Sementara itu, untuk menjadi orang bertaqwa terdapat indikasi-indikasi dasar yang konstan, yakni adanya iman kepada Allah, iman kepada malaikat-malaikat-Nya, iman kepada rasul-rasu-Nya, iman kepada kitab-kitab-Nya, iman kepada hari akhir, serta iman kepada qadha dan qadar-Nya. Agaknya, yang memiliki indikasi-indikasi tersebut hanyalah kaum mukmin atau ummat muslim.
Oleh karena itu, boleh jadi, selain muslim, sekali pun ia berkali-kali mengaku bertaqwa kepada Tuhan Yang Mahaesa, rasanya tidak mempunyai kesesuaian dengan indikasi-indikasi yang mendasar tersebut. Dan, boleh jadi juga, antara ucap pengakuan dengan tindakannya, bagi non muslim, menjadi tidak ditemukan kesesuaian karena kata serta sifat-sifat taqwa telah disempurnakan ke dalam kitab Allah, Alqur-anul karim.
Menghindari Kemuliaan Semu
Setiap orang memang mempunyai hak mendapatkan kemuliaan untuk dirinya. Kemuliaan adalah hak yang disediakan Allah dalam kehidupan fana, sehingga setiap orang boleh berupaya menggapainya.
Hanya saja, Allah juga memberikan tata cara untuk menggapai kemuliaan tersebut. Bahkan, Allah menyiapkan gelar bagi orang yang paling mulia di sisi-Nya dengan predikat taqwa. Ini, merupakan predikat yang dapat ditempuh tahap per tahap dengan mengandalkan kontineoitas ibadah sesuai tuntunan kitab suci (Allah dan rasul-Nya).
Kontineoitas ibadah tanpa tuntunan tersebut, boleh jadi hanya akan menghadirkan kesia-siaan –andai dipandang kasar bila disebut ketercelaan. Sekalipun yang diharapkan pelaku ibadah tanpa tuntunan dimaksud mungkin juga kemuliaan berupa taqwa, namun sangat mungkin yang diperolehnya berupa kemuliaan atau taqwa yang bersifat semu belaka.
Bukankah Allah dan rasul-Nya telah menggariskan dasar dengan iman dan adanya tuntunan, sehingga terdapat tata cara tertentu dalam upaya mencapai derajat taqwa? Ya…! Tuntunan dari Allah dan rasul-Nya sudah ada, dan tuntunan ini hendaknya menjadi pedoman dalam upaya kita menggapai taqwa, sebagai predikat kemuliaan yang bersifat ilahiah.
Itu artinya, Allah dan rasul-Nya mengajak agar setiap insan berupaya menghindarkan diri dari penggapaian kemuliaan yang bersifat semu. Ciri-ciri kemuliaan semu antara lain manakala ukurannya hanya pada kedudukan dalam status sosial, dan atau pada kepemilikan harta benda, plus tata caranya menyimpang dari tuntunan Allah dan rasul-Nya.
Mulia di Sisi Allah
Kemuliaan tertinggi yang mesti digapai manusia hendaknya kemuliaan tertinggi di sisi Allah yakni taqwa kepada-Nya. Untuk mencapai kemuliaan tertinggi ini yang harus dipenuhi manusia tak lain syarat-syarat yang telah ditentukan oleh-Nya. Rasanya, mustahil bagi seseorang yang ingin memperoleh kemuliaan di sisi-Nya tanpa memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan-Nya.
Syarat-syarat untuk mencapai tingkat taqwa, didasari iman kepada Allah, para malaikat-Nya, rasul-rasul-Nya, kitab-kitab-Nya, hari kiamat, serta adanya qadha dan qadar dari-Nya. Kemudian, syarat berikut mendirikan ibadah mahdha (bersifat langsung kepada Allah seperti shalat, puasa, dan haji bagi yang mampu), juga seseorang itu harus melakukan ibadah khairu mahdha yang bersifat sosial di antara manusia dan lingkungannya.
Dalam ibadah sosial, orang yang ingin menggapai kemuliaan tertinggi di sisi Allah, ada juga anjuran-Nya agar merebut posisi atau kedudukan tertinggi dalam status sosial. Dan, dalam kepemilikan harta benda ada pula anjuran dari ajaran-Nya; Agar orang yang ingin menggapai kemuliaan tertinggi itu memiliki banyak harta.
Hanya saja harus disadari, posisi atau kedudukan dalam status sosial plus kepemilikan harta benda setinggi dan sebanyak apa pun bukanlah ukuran kemuliaan bagi seseorang. Kedudukan dan harta benda hanya boleh menjadi alat untuk meningkatkan martabat diri dengan cara memanfaatkannya dalam lingkup ibadah kepada-Nya. Melalui nilai-nilai ibadah (mahdha dan khairu mahdha) itulah seorang muslim/mukmin dapat memperoleh status paling mulia di sisi Allah dengan gelar taqwa.
In sya Allah….