Minggu, Desember 8, 2024
No menu items!

Pandangan Kaum Sunni Mengenai Masalah Takwil dalam Penafsiran Al-Qur’an

Must Read

JAKARTAMU.COM | Dari satu segi, pertumbuhan historis paham Sunni merupakan gabungan dua komponen, yang pertama komponen ideologis, dan yang kedua komponen politik pragmatis. Yang ideologis ialah “Aliran Penduduk Madinah” (Madzhab Ahl al-Madinah) seperti dikemukakan mereka yang tak mau terlibat dalam pertikaian-pertikaian politik saat itu, khususnya antara ‘Ali dan Mu’awiyah beserta pengikut masing-masing.

Mereka ini dipelopori ‘Abdullah ibn ‘Umar, Muhammad ibn Maslamah, Said ibn Abi Waqqash, Usamah ibn Zayd, Abu Bakrah, dan ‘Imran ibn Hasyim. Bahkan, menurut Ibn Taymiyyah, madzab Madinah itu juga didukung oleh sebagian besar “para pelopor pertama” (al-sabiqun al-awwalun).

“Yang politik pragmatis, ialah sikap mendukung sebagian terbesar kaum Muslim kepada Mu’awiyah sebagai Khalifah yang sah berkedudukan di Damaskus, Syria. Khususnya yang terjadi pada tahun 41 H yang sering disebut para ahli sejarah sebagai “Tahun Persatuan” (‘Am al-Jama’ah),” tulis Cendekiawan Muslim, Prof. Dr. Nurcholish Madjid, M.A. (17 Maret 1939 – 29 Agustus 2005) atau populer dipanggil Cak Nur dalam tulisannya berjudul “Masalah Tak’wil sebagai Metodologi Penafsiran Al-Quran” dalam buku “Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah” (Editor: Budhy Munawar-Rachman).

Mungkin disebabkan latar belakang pertumbuhan historisnya itu maka paham Sunni ditandai semangat umum moderasi dan akomodasi. Salah satu wujud semangat itu tampak dalam paham Sunni menghadapi masalah ta’wil itu.

“Kaum Sunni umumnya menerima adanya intepretasi metaforis, tapi dengan pembatasan-pembatasan begitu rupa sehingga masih bisa dikuasai,” kata Cak Nur.

Kaum Sunni –yang secara garis besar perjalanan sejarahnya hampir selalu paralel dengan susunan mapan masyarakat Islam– sangat mengkhawatirkan, pendekatan metaforis pada agama akan mempunyai efek melemahnya sendi-sendi dan kesadaran hukum masyarakat banyak.

Sebab jika pintu interpretasi metaforis itu ditenggang dengan tidak hati-hati, maka bagaikan membuka Kotak Pandora, semua bagian dari ajaran agama akan habis diinterpretasikan, sehingga tidak ada lagi sisa yang bersifat pasti. Interpretasi metaforis atau takwil tidak saja selalu bersifat abstrak dan intelektualistik–yang tak terjangkau masyarakat banyak– tapi juga senantiasa menyediakan “lubang pelarian” (loop hole) di bidang hukum bagi mereka yang kesadaran hukumnya lemah.

Tapi, sebaliknya, menutup samasekali kemungkinan mengadakan takwil akan menghadapkan orang-orang Muslim yang serius pada kesulitan mengartikan berbagai pelukisan tentang Tuhan yang antropomorfis (yakni, menyerupai manusia; misalnya, keterangan dalam al-Qur’an bahwa Tuhan mempunyai tangan, wajah dan mata, bahwa Dia bertahta di Singgasana, merasa senang dan tidak senang, dan seterusnya).

Sebab pelukisan antropomorfis itu tidak sesuai dengan penegasan Kitab Suci sendiri bahwa Tuhan tidak sebanding, dan tidak bisa disamakan dengan sesuatu apa pun juga. Paling jauh, jika mereka tidak melakukan interpretasi, mereka tetap menolak antropomorfisme, dengan mengatakan bahwa sekali pun disebutkan Tuhan itu mempunyai tangan, wajah, mata dan lain-lain, namun tangan, wajah dan mata Tuhan itu tidak sama dengan yang ada pada makhluk seperti
manusia, dan “tanpa bagaimana” (bi-la kayfa).

“Inilah metode al-Asy’ari, rujukan utama paham Sunni dalam ilmu Ketuhanan atau akidah,” jelas Cak Nur.

Masih dalam konteks paham Sunni tentang ta’wil ini, Ibnu Taimiyyah dalam “al-Iklil fi al-Mutasyabih wa al-Ta’wil” (Kairo: Dar al-Mathba’at al-Salafiyyah, 1973) mengemukakan pandangan yang cukup menarik. Berdasarkan firman Allah, “Kitab Suci penuh berkah, yang telah Kami turunkan kepada engkau (Muhammad), agar mereka (manusia) merenungkan ayat-ayatnya, dan agar mereka yang berpengetahuan mendalam menangkap pesannya” [QS. Shad/38:29]

Ibnu Taimiyyah mengatakan bahwa yang harus direnungkan itu ialah semua ayat-ayat al-Qur’an, baik yang muhkamat maupun mutasyabihat. Hanya hal-hal yang maknanya tak masuk akal saja yang tidak direnungkan, dan hal yang tak masuk akal itu tak ada dalam al-Qur’an.

Maka Allah memuji mereka yang merenungkan firman-firman-Nya, baik yang muhkamat maupun yang mutasyabihat, sebagaimana perintah untuk itu dapat dipahami dari firman-Nya, “Apakah mereka (manusia) tidak merenungkan al-Qur’an, ataukah sebenarnya hati mereka telah tersumbat?” (QS. Muhammad/47:24).

Oleh karena itu, kata Ibnu Taimiyyah, Allah dan Rasul-Nya tidaklah mencela orang yang merenungkan makna di balik ungkapan-ungkapan ayat-ayat mutasyabihat dalam al-Qur’an kecuali jika dilakukan dengan maksud menimbulkan perpecahan dan mencari-cari interpretasinya yang tidak masuk akal.

Menurut Cak Nur, pandangan hampir serupa dianut juga oleh Abdullah Yusuf Ali, sarjana Muslim di zaman modern ini, dan penafsir al-Qur’an terkemuka terhadap firman Allah berkenaan dengan ayat-ayat muhkamat dan mutasyabihat yang dikutip di atas tadi, Abdullah Yusuf Ali memberi komentar sebagai berikut,

Ayat ini memberi kita suatu kunci penting untuk interpretasi al-Qur’an. Secara garis besar al-Qur’an itu dapat dibagi ke dalam dua bagian, yang tidak diberikan secara terpisah, tapi tumpang tindih; yaitu, pertama, inti atau dasar Kitab Suci, secara harfiah “Induk Kitab Suci,” dan kedua, bagian yang bersifat figuratif, metaforis dikenakan kepada esensi itu, di seluruh Kitab Suci. Kita harus mencoba memahaminya sebaik mungkin, tetapi tak boleh menyia-nyiakan energi kita dalam memperdebatkan sesuatu yang berada di luar kedalaman diri kita.

Seorang sarjana Muslim modern penafsir al-Qur’an lain, Muhammad Asad dalam “The Message of the Qur’an”, juga berpegang pada pandangan yang sama dalam masalah ta’wil ini. Asad berpendapat bahwa al-Qur’an memang mengandung ayat-ayat yang pasti maknanya tanpa samar, namun kebanyakan justru firman-firman yang metaforis.

Menurut sarjana ini, sifat alegoris atau metaforis keterangan-keterangan dalam Kitab Suci itu tak dapat tidak harus digunakan sebagai metodologi penyampaian pesan, sebab manusia tidak akan dapat memahami sesuatu yang samasekali abstrak, yang tidak ada asosiasinya dengan apa yang sudah ada dalam alam pikirannya.

Namun manusia, dalam usahanya memahami keterangan-keterangan suci itu, tak dibenarkan menganggap perolehannya sebagai mutlak dan final, sebab “tidak ada kesalahan yang lebih besar daripada berpikir bahwa “terjemahan-terjemahan” (yakni, ungkapan-ungkapan dalam bahasa manusia) itu dapat memberi definisi pada sesuatu yang tak mungkin didefinisikan.”

Gerindra Bersiap Gugat Hasil Pilgub Jakarta

JAKARTAMU.COM | DPP Partai Gerindra melalui Lembaga Advokasi Hukum bakal mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi (MK) terkait pelaksanaan Pilgub...

More Articles Like This