Oleh Wahyudi Nasution | Wakil Ketua Pusat Jamaah Tani Muhammadiyah (Jatam)
SEBENARNYA Pak Bei senang-senang saja setiap kali Kang Narjo mampir minta kopi di sela-sela tugasnya mengantar koran pagi ke rumah-rumah pelanggan. Pak Bei pun maklum, sahabatnya itu berangkat dari rumah sejak pagi dalam kondisi perut masih kosong, belum sempat ngopi apalagi sarapan. Dan, mampir di nDalem Pak Bei adalah solusi. Bukan hanya solusi bagi perutnya yang terasa anyep, dingin, tapi juga bisa ngobrol sambil mengkonfirmasi berita-berita aktual yang sering mengganggu pikirannya.
Tapi ada kalanya Pak Bei kurang suka dengan topik obrolan Kang Narjo yang kadang terkesan sok tahu, agak keminter, seolah tahu semua isu aktual. Seperti pagi ini, tiba Kang Narjo ngangkat topik yang agak sensitif yang sebenarnya Pak Bei males melayani.
“Jenderal-Jenderal purnawiraan mulai bergerak, Pak Bei,” Kang Narjo memulai obrolan setelah nyeruput kopi semendo yang disuguhkan Pak Bei.
“Rupanya mereka khawatir melihat kondisi negara saat ini sehingga merasa perlu cawe-cawe.” Pak Bei masih diam saja, belum merespon.
“Beberapa tuntutan sudah mereka sampaikan ke Presiden dan MPR agar mengambil langkah-langkah yang diperlukan guna memperbaiki keadaan.”
Pak Bei belum juga merespon. Tangannya membuka bungkus rokok, mengambil sebatang kretek dan dimasukkannya ke pipa, disulut, dihisap, lalu bulll…
gumpalan asap putih tampak menghiasi udara pagi.
“Ada satu tuntutan yang cukup menarik, Pak Bei: pemakzulan Gibran sebagai Wakil Presiden.”
“Ah gak gampang itu, Kang,” Pak Bei terpaksa merespon.
“Sulit, maksudnya?”
“Iyalah. Jelas sulit.”
“Ya pasti sulit. Bagaimana pun Gibran itu satu paket dengan Prabowo pada Pilpres kemarin. Mereka telah terpilih sebagai pasangan Presiden-Wakil Presiden secara sah menurut UU.”
“Lha gene wis ngerti.”
“Semua orang juga sudah tahu, Pak Bei.”
“Lha terus apa masalahnya?”
“Kita ini bangsa yang besar, Pak Bei. Jumlah penduduk kita saat ini ada 285 juta orang. Kita punya ribuan Profesor dan Doktor, ada Jenderal aktif dan Purnawirawan, banyak Kyai dan Ustadz, juga banyak negarawan hebat, banyak juga politisi idealis.”
“Memangnya kenapa?”
“Ya mosok Wapres-nya seperti itu.”
“Seperti itu, bagaimana?”
“Blas gak perform. Malah kesannya agak lholak-lholok.”
“Huss…jangan begitu, Kang. Gak baik.”
“Tapi bener, kan?”
“Ngono yho ngono, ning ojo ngono, Kang.”
“Aku tidak punya istilah yang lebih halus dari itu, Pak Bei. Tidak ada lagi sanepan yang lebih pas.”
“Tapi mbok ya jangan terus dibilang lholak-lholok gitu to, Kang. Mbokya agak menghormati sedikit kenapa sih?”
“Kupikir ide para Jenderal purnawirawan itu bagus juga. Sebagai rakyat, sebenarnya kita ini malu juga punya Wapres seperti itu. Kok kayak gak ada orang lain.”
“Itu namanya orang bangun kesiangan, Kang. Kenapa baru sekarang mereka menyadari? Kenapa sewaktu proses pencalonan yang kontroversial, yang bermasalah secara etika dan hukum itu, mereka diam saja tidak bersuara? Nasi sudah menjadi bubur, Kang.”
“Entahlah, Pak Bei.”
“Dan asal tahu saja, pemakzulan Wapres itu secara konstitusional akan sulit, Kang. Mustahil bisa terjadi.”
“Yess….setuju. Saya sangat setuju, Pak Bei. Dulu, waktu kita menurunkan Pak Harto, secara konstitusional juga tidak mungkin bisa terjadi. Seluruh Anggota DPR-MPR, seluruh ABRI, seluruh Ormas, seluruh Konglomerat, ada di barisan pendukung Pak Harto. Iya, kan? Mustahil Pak Harto bisa dilengserkan. Tapi nyatanya kekuatan demonstrasi rakyat dan mahasiswa bisa memaksa Pak Harto meletakkan jabatan, kan? Itu tidak konstitusional, lho.”
Edan. Kang Narjo seperti orang ngomyang, meracau di luas kesadarannya. Sok tahu, keminter. Tapi memang benar, sih. Presiden Soekarno dulu meletakkan jabatan juga tanpa melalui proses konstitusional. Demikian juga lengsernya Presiden Gus Dur digantikan Megawati.
“Pak Bei, meski inkonstitusional, asal didukung penuh oleh rakyat, maka kun fayakun, jadilah….maka jadilah. Tidak ada yang mustiahil. Tidak ada yang bisa melawan kehendak rakyat,” kata Kang Narjo sambil berdiri pamitan, lalu ngacir meninggalkan Pak Bei.
Pak Bei seakan masih deleg-deleg, tak habis pikir dengan kalimat terakhir yang diucapkan sahabatnya sambil ngacir pergi. Kethus tenaan Kang Narjo. Edyan. (*)