Rabu, Juni 18, 2025
No menu items!

Bajak Laut Itu Bernama Sahabat Lama

Must Read

RUMAH tangga Layla dan Arman tampak tenang di permukaan, seperti kapal yang mengarungi laut biru tanpa gelombang. Tapi di bawahnya, retakan kecil mulai terbentuk. Komunikasi merenggang, kepercayaan mulai rapuh. Saat itulah “bajak laut” datang berwujud sahabat lama yang manis. Cerita ini akan membawa Anda pada pelayaran cinta yang berakhir tak terduga.

Langit berwarna jingga saat Layla menutup tirai ruang tamu. Sudah dua minggu Arman pulang larut malam dengan alasan pekerjaan. Dulu, ia selalu menelepon di tengah hari, bertanya makan siang apa, bahkan mengirim emoji hati tanpa alasan. Sekarang, bahkan pesan singkatnya tak lagi muncul. Layla mencoba memahami. Tapi ruang yang kosong selalu memberi ruang bagi pertanyaan.

Sore itu, suara notifikasi di ponselnya membuatnya terkejut. Pesan dari seseorang yang sudah lama tak terdengar: Reza

            ⁠“Lagi sibuk, Lay? Aku nemu foto lama kita di acara kampus. Jadi ingat waktu kita naik perahu bareng pas ospek.”

Layla tersenyum. Reza. Sahabat semasa kuliah. Dulu mereka dekat, terlalu dekat kata teman-teman, tapi semua berakhir saat Reza memutuskan melanjutkan kuliah ke luar negeri. Layla pun bertemu Arman. Lalu menikah. Hidup berjalan cepat, dan Reza menjadi masa lalu.

Tapi malam itu, mereka mengobrol panjang. Tentang kenangan lama, tawa, lagu-lagu 2000-an yang mereka sukai. Tak ada niat. Hanya nostalgia. Atau begitulah yang Layla pikirkan.

Di sisi lain kota, Arman duduk di dalam mobil, menatap notifikasi yang muncul di layar ponselnya.

            ⁠“Makasih ya, Tania, udah dengar aku tadi. Aku butuh itu.”

Tania, rekan kerja yang baru sebulan pindah ke divisi Arman, rupanya cepat mengisi celah yang Layla tinggalkan. Ia pandai bicara, hangat, dan selalu ada saat Arman merasa kesepian. Bukan karena ingin selingkuh, pikir Arman. Tapi karena ia butuh teman bicara. Seseorang yang mengerti.

Kapal itu yang dulu Layla dan Arman dayung bersama mulai berbelok arah. Tak tampak jelas dari luar, tapi tali layarnya mulai kendor. Ombak-ombak kecil yang dulu bisa mereka atasi bersama, kini dibiarkan memukul lambung kapal sendirian.

Reza semakin sering mengirim pesan. Tak sekadar basa-basi. Kadang perhatian. Kadang pujian.

            ⁠“Lay, jujur aja, kamu tetap cantik kayak dulu. Gak pernah berubah.”

Layla tertawa. Lalu mulai membalas dengan emotikon senyum. Lalu dengan kalimat-kalimat ringan yang membuatnya merasa hidup. Ia tahu batasnya, tapi seperti berdiri di tepi kapal saat badai datang, godaan untuk melangkah makin besar.

Sementara itu, Arman mulai mengurangi waktu di rumah. Ia merasa suasana makin dingin. Dan Tania? Ia makin pandai mencuri waktu. Satu dua makan siang. Lalu makan malam karena lembur. Lalu tawa. Lalu obrolan pribadi.

Dan seperti bajak laut, mereka datang bukan dengan pedang, tapi dengan kata-kata yang mengisi ruang kosong. Layla dan Arman perlahan merasa nyaman dengan orang lain, dan tidak lagi merasa butuh satu sama lain.

Hingga malam itu tiba.

Reza datang ke kota. Mereka bertemu di sebuah kafe kecil yang remang. Layla gugup, tapi alasan sahabat lama cukup untuk menenangkan nuraninya. Saat Reza menatapnya dalam-dalam, ada jeda yang aneh.

            ⁠“Aku selalu berharap waktu itu aku yang di sampingmu, Lay.”

Layla diam. Lalu tertawa kecil, mencoba menjadikan itu lelucon. Tapi saat Reza menggenggam tangannya di atas meja, Layla mendadak seperti tersadar dari mimpi.

            ⁠“Reza… kita cuma nostalgia. Jangan buat jadi hal yang lain.”

Namun hati Layla malam itu sudah berkabut. Pulang ke rumah, Arman sudah tidur. Dan untuk pertama kalinya, Layla menatap wajah suaminya tanpa rasa. Ia tidur seperti orang asing.

Keesokan paginya, Arman memutuskan bicara. Ia tak tahan lagi.

            ⁠“Lay… kita ini ke mana sih sekarang? Aku ngerasa kita bukan kita lagi.”

Layla menatapnya. Sunyi menggantung di antara mereka. Tak tahu harus mulai dari mana.

Dan di titik itulah, cerita berbalik.

Layla berdiri, mengambil ponsel, lalu menyerahkan pada Arman.

            ⁠“Baca ini. Percakapanku dengan Reza.”

Arman membaca pelan. Jemarinya gemetar.

Layla berkata pelan, “Aku hampir kehilangan arah. Tapi aku sadar, kita ini kapal yang dulu kita bangun sama-sama. Aku gak mau karam. Tapi kita harus tarik layar sama-sama, Man.”

Arman menunduk. Lalu dengan suara berat, ia menjawab, “Aku juga punya yang harus kamu baca.”

Ia menyerahkan ponselnya. Percakapan dengan Tania terpampang jelas. Layla menahan napas, tapi tetap membaca sampai akhir.

Hening.

Tapi bukan hening karena akhir. Melainkan hening sebelum keputusan besar dibuat.

Arman menarik napas panjang.

            ⁠“Aku gak bangga dengan ini. Tapi aku tahu, kita gak bisa terus begini.”

Layla mengangguk. “Mungkin kita perlu mulai dari nol. Bicara lagi. Memaafkan lagi. Mengencangkan tali layar yang mulai longgar.”

Dan mereka pun memulai. Terapi pernikahan. Waktu khusus berdua. Menghapus kontak yang mengganggu. Kembali menulis ulang arah pelayaran.

Dua tahun kemudian.

Sebuah kapal wisata melaju pelan di laut Amed, Bali. Di atasnya, pasangan suami istri tersenyum menatap matahari terbenam. Mereka seperti pasangan yang sedang bulan madu. Tertawa. Saling suap makanan. Saling bisik.

Tapi mereka bukan Layla dan Arman.

Mereka adalah Reza dan Tania

Ya, bajak laut tak selalu gagal. Kadang mereka memang tak berhasil merebut kapal… tapi mereka bisa saling menemukan di reruntuhan kapal orang lain.

Dan di laut biru yang tenang itu, dua bajak laut sedang memulai pelayaran barunya bersama. (*)

Kisah dalam Al-Quran: Jejak dari Taurat dan Injil

JAKARTAMU.COM | Di antara mimbar masjid dan pasar-pasar padang pasir, para qushash—pendongeng yang gemar berbicara panjang dari satu kisah...
spot_img
spot_img

More Articles Like This