Selasa, Juni 17, 2025
No menu items!

Tambang Indonesia Butuh Dana Darurat Lingkungan

Must Read

JAKARTAMU.COM | Direktur Green Press Indonesia IGG Maha Adi menilai Undang-Undang Nomor 2/2025 sebagai perubahan keempat atas UU Nomor 4/2009 tentang Mineral dan Batu Bara (Minerba) merupakan langkah maju. Melalui beleid baru inipemerintah mewajibkan adanya dana jaminan reklamasi sebagaimana diatur dalam Pasal 100. Selain itu juga kewajiban program pengembangan dan pemberdayaan masyarakat (PPM) yang diatur dalam Pasal 108.

“Tetapi ini masih belum cukup dan konflik sosial berpotensi muncul terus di masa mendatang,” katanya.

Menurut Maha Adi, beberapa konsesi tambang dunia sudah beberapa langkah lebih maju karena mengimplementasikan dua prinsip. Keduanya adalah First Prior Informed Consent (FPIC) sebelum operasi pertambagan, dan kewajiban alokasi Environmental Emergency Fund (EEF) sebagai wujud tanggung jawab.

Di Indonesia, FPIC diterjemahkan sebagai Persetujuan Atas Dasar Informasi Awal Tanpa Paksaan (Padiatapa). Ini merupakan proses yang menjamin hak masyarakat adat dan masyarakat lokal untuk memberikan atau menolak persetujuan mereka atas tindakan yang dapat mempengaruhi tanah, wilayah, atau sumber daya mereka.

Prinsip-prinsip di dalam FPIC telah dilaksanakan di berbagai lokasi tambang di dunia, misalnya di tambang batu bara Cerèrjon di Kolombia dan tambang emas Merian di Suriname. Program pengurangan emisi karbon hutan (REDD) di Indonesia juga telah menerapkan serupa.

“Padiatapa menjamin semua suara masyarakat lokal yang akan terdampak atas sebuah proyek, didengarkan dan dilaksanakan termasuk jika mereka menolak tambang itu,” kata Adi.

Proses Padiatapa harus dilaksanakan sebelum operasi pertambangan dimulai dan ketika ada perubahan rencana produksi, misalnya memperluas wilayah konsesi. Dalam FPIC, umumnya juga dibahas komitmen perusahaan untuk penyediaan lapangan kerja, penghormatan adat istiadat setempat dan lain lain yang dianggap penting masyarakat.

Kewajiban lain adalah penyediaan Dana Darurat Lingkungan (EEF) yang bertujuan memastikan pemulihan lingkungan secara cepat ketika terjadi bencana yang berdampak besar pada kehidupan masyarakat. Dana ini menjadi dana siaga bencana lingkungan di industri pertambangan yang dapat dikeluarkan dengan cepat dan harus ditempatkan dalam rekening dana ketiga atau escrow account yang penggunaannya diawasi oleh masyarakat atau wakil mereka, perusahaan, dan pemerintah.

“Tidak boleh dana ini masuk rekening pemerintah atau perusahaan, karena rawan disalahgunakan,” kata Adi.

Contoh pemakaian dana darurat ini antara lain saat bencana runtuhnya bendungan Samarco di Brasil dan tumpanhan kolam tailing di Mount Polley, Kanada.

Adi juga meminta pemerintah Indonesia hendaknya tidak terlalu lunak terhadap investor tambang  dari luar maupun dalam negeri hanya demi menggaet investasi.  Ia meminta pemerintah Indonesia lebih jujur melihat keberhasilan penerapan Padiatapa dan dana dararut lingkugan ini.  “Lihat kasus di Kolombia yang konsesinya dimiiliki investor besar dunia yaitu Glencore. Di sana mereka  mematuhi FPIC,”katanya.

Dia juga menyebut kasus tambang emas Merian yang dimiliki Alcoa dari Amerika Serikat, kasus bendungan Samarco milik Vale dan BHP Biliton, di mana dua perusahaan ini yang juga punya tambang di Indonesia. “Jadi kalau dua prinsip ini belum diterapkan, jangan heran kasus seperti Raja Ampat terulang terus,”katanya.

Di Indonesia, kata dia, dana serupa itu pernah dialokasikan Newmont Minahasa Raya sebesar USD15 juta pada 2006 sebagai dana lingkungan pascapenutupan tambang. ”Jadi, jika ada yang mengatakan aturan yang lebih ketat seperti FPIC dan komitmen dana darurat lingkungan itu bisa membuat investor lari, jelas sama seklai tak berdasar dan alasan yang dicari-cari,” ungkapya

               Riset dan grafis: IGGM

Israel Bom Stasiun TV Pemerintah Iran

JAKARTAMU.COM | Israel menyerang Kantor Stasiun televisi pemerintah Iran, Islamic Republic of Iran Broadcasting(IRIB) Senin (16/6/2025) malam. Serangan tersebut...
spot_img
spot_img

More Articles Like This