KEBAHAGIAAN dalam rumah tangga seringkali dikaitkan dengan liburan mewah, kado mahal, atau momen-momen Instagramable di tempat eksklusif. Padahal sumber kebahagiaan itu jauh lebih dekat, lebih sederhana, dan tak selalu memerlukan uang. Bahkan, bagi sebagian besar pasangan di Indonesia, kebahagiaan sejati justru hadir dari hal-hal remeh yang dilakukan bersama.
Salah satu contohnya adalah “motoran bareng suami”. Ini bukan sekadar aktivitas fisik menunggang motor. Ini tentang keintiman, keterhubungan, dan ruang privat yang hanya milik berdua. Ketika seorang istri telah menghabiskan hari-harinya mengurus anak, rumah, cucian, dapur, dan seabrek tugas domestik lainnya, ajakan suami untuk “keluar yuk, muter-muter aja” bisa terasa seperti liburan ke luar negeri. Tak perlu tujuan jauh. Tak harus ke mal. Cukup ke warung beli cilok, ke pinggir jalan beli es doger, atau sekadar keliling komplek sambil berbagi cerita dan tawa.
Psikolog keluarga Dr. Ratih Ibrahim dalam berbagai kesempatan menyebutkan bahwa kualitas hubungan suami-istri tidak ditentukan oleh besarnya pengeluaran, tetapi oleh frekuensi dan kedalaman interaksi bermakna. Sentuhan kecil, seperti memegang tangan saat di atas motor, memberi pelukan sebelum tidur, atau menyeduh teh bersama saat anak-anak sudah tidur, adalah pondasi emosional yang menguatkan rumah tangga.
Naik motor berdua, dalam konteks ini, adalah simbol dari banyak hal. Pertama, ia mencerminkan keberanian suami untuk menyediakan waktu dan perhatian. Di tengah kesibukan mencari nafkah, suami yang berkata “keluar yuk jalan-jalan” sejatinya sedang menunjukkan bahwa istrinya penting. Bahwa kelelahan sang istri bukan hal yang diabaikan. Kedua, momen itu membuka ruang komunikasi. Di atas motor, tak ada layar ponsel yang mengalihkan perhatian, tak ada televisi atau rapat daring. Yang ada hanya dua orang yang bisa berbicara, bercanda, atau sekadar menikmati diam bersama.
Sebuah studi dari University of California menunjukkan bahwa pasangan yang rutin meluangkan waktu bersama dalam kegiatan sederhana cenderung memiliki ikatan emosional yang lebih kuat dibanding mereka yang hanya bertemu dalam kondisi formal atau penuh beban. Ini berarti, meski hanya 30 menit naik motor keliling kota, nilai emosionalnya bisa jauh lebih tinggi dibanding duduk satu meja di restoran mahal namun masing-masing sibuk dengan gawainya.
Selain itu, motoran juga menjadi cara menjaga “sense of adventure” dalam pernikahan. Pasangan yang sudah bertahun-tahun menikah cenderung merasa hubungan mereka stagnan. Dengan kegiatan spontan dan ringan seperti ini, muncul kembali rasa muda, rasa pacaran, rasa “berpetualang” meski tanpa peta dan tanpa tujuan besar. Ini bukan tentang destinasi, tapi tentang siapa yang duduk di belakang dan memeluk dengan penuh kasih.
Lebih dari itu, kegiatan murah meriah seperti ini juga menjadi bentuk nyata dari kesadaran finansial keluarga. Bahwa untuk bersenang-senang, kita tidak perlu utang. Tidak perlu memaksakan diri demi memenuhi standar orang lain. Keluarga yang cerdas adalah keluarga yang tahu batas dan tahu cara bahagia dalam batas tersebut. Banyak konflik rumah tangga justru bermula dari tekanan ekonomi yang dipaksakan untuk memenuhi gaya hidup. Padahal, gaya hidup tidak pernah bisa mengalahkan gaya mencintai.
Dalam sudut pandang spiritualitas, kehidupan rumah tangga yang sederhana namun penuh kehangatan adalah bentuk syukur konkret. Rasulullah SAW sendiri dikenal hidup sederhana bersama para istrinya, namun penuh cinta dan kelembutan. Dalam hadis riwayat Muslim, disebutkan bahwa Rasul biasa membantu pekerjaan rumah, menyuapi istrinya, dan bercanda mesra. Cinta bukan dilihat dari kemewahan yang diberikan, tetapi dari kebaikan kecil yang konsisten dilakukan.
Kembali ke gambar yang menjadi inspirasi narasi ini: sepasang suami istri dengan helm di kepala, istri bersandar mesra di punggung suami sambil tersenyum. Mereka tidak sedang di atas motor gede, tidak sedang di jalan tol, tidak juga menuju tempat wisata. Tapi ekspresi mereka menunjukkan bahwa di saat itu, mereka sedang berada di tempat paling membahagiakan: bersama, dalam keintiman, dalam kebersamaan, dalam cinta yang tak bersyarat.
Maka benarlah, motoran bareng suami adalah metafora tentang hubungan yang bergerak. Dia tidak statis melainkan perjalanan tanpa henti yang dinikmati bersama, meski jalannya berkelok dan tak selalu mulus. Tentang kepercayaan istri kepada suami yang membawa ke mana pun dengan aman. Tentang keberanian suami untuk tetap menggenggam, meski hidup sering kali berliku.
Di akhir hari, rumah tangga bukan soal berapa banyak kita punya, tapi berapa banyak yang kita bagi. Dan membagi waktu, perhatian, pelukan, serta kehangatan di atas motor tua yang kadang mogok, bisa jadi jauh lebih membahagiakan daripada duduk diam di sofa mewah yang sunyi.
Maka tugas kita bukan mencari yang lebih dari itu, tapi menjaga agar yang sederhana itu tetap abadi. Karena dalam dunia yang makin bising dan rumit, kebahagiaan sejati justru hadir dari hal-hal yang paling sunyi dan sederhana. (*)