JAKARTAMU.COM | Al-Tabrasi, dalam tafsirnya, mengemukakan bahwa kata Imam mempunyai makna yang sama dengan khalifah. Hanya saja -katanya lebih lanjut– kata Imam digunakan untuk keteladanan, karena ia terambil dari kata yang mengandung arti “depan” yang berbeda dengan khalifah yang terambil dari kata “belakang”.
Prof Dr M Quraish Shihab dalam bukunya berjudul “Membumikan Al-Quran, Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat” (Mizan, 1996) menjelaskan bahwa ini berarti bahwa kita dapat memperoleh informasi tentang sifat-sifat terpuji dari seorang khalifah dengan menelusuri ayat-ayat yang menggunakan kata Imam.
Dalam Al-Quran, kata Imam terulang sebanyak tujuh kali dengan makna yang berbeda-beda. Namun, kesemuanya bertumpu pada arti “sesuatu yang dituju dan atau diteladani” Arti-arti tersebut adalah:
(a) Pemimpin dalam kebajikan, yaitu pada Al-Baqarah ayat 124 dan Al-Furqan ayat 74.
(b) Kitab amalan manusia, yaitu pada Al-Isra’ ayat 71.
(c) Al-Lawh Al-Mafhuzh, yaitu pada Yasin ayat 12.
(d) Taurat, yaitu pada Hud ayat 17 dan Al-Ahqaf ayat 12.
(e) Jalan yang jelas, yaitu pada Al-Hijr ayat 79.
Dari makna-makna di atas terlihat bahwa hanya dua ayat yang dapat dijadikan rujukan dalam persoalan yang sedang dicari jawabannya ini, yaitu ayat Al-Baqarah 124 yang berbunyi: [tulisan Arab] dan ayat Al-Furqan 74, yang berbunyi: [tulisan Arab].
Ayat yang terakhir ini, sebagaimana terlihat, hanya mengandung permohonan untuk dijadikan Imam (teladan) bagi orang-orang yang bertakwa sehingga tinggal ayat Al-Baqarah yang diharapkan dapat memberikan informasi.
Pada ayat tersebut, Nabi Ibrahim a.s. dijanjikan Allah untuk dijadikan Imam (Inni ja’iluka li al-nas Imama), dan ketika beliau bermohon agar kehormatan ini diperoleh pula oleh anak cucunya, Allah SWT menggarisbawahi suatu syarat, yaitu la yanalu ‘ahdiya al-zhalimin (Janji-Ku ini tidak diperoleh oleh orang-orang yang berlaku aniaya).
Keadilan adalah lawan dari penganiayaan. Dengan demikian, dari ayat di atas dapat ditarik satu sifat, yaitu sifat adil, baik terhadap diri, keluarga, manusia dan lingkungan, maupun terhadap Allah.
Perlu sekali lagi diingatkan bahwa para khalifah yang disebut namanya dalam Al-Quran (Adam dan Daud a.s.) keduanya pernah melakukan penganiayaan, baik terhadap diri maupun terhadap orang lain. Namun, mereka berdua bertobat dan mendapat pengampunan.
Peristiwa Adam dan penyesalannya cukup populer (baca antara lain QS 7:23), sedangkan “penganiayaan” yang dilakukan oleh Daud dapat terlihat pada kisah dua orang yang bertikai dan datang kepadanya meminta putusan (QS 38:22, dan seterusnya).
Menarik untuk dianalisis bahwa kedua orang yang bertikai itu berkata kepada Daud:
Berilah keputusan antara kami dengan hak/adil dan janganlah menyimpang dari kebenaran dan tunjukilah kami ke jalan lurus.
Dari ucapan kedua orang yang bertikai itu (yang pada hakikatnya tidak bertikai tetapi cara yang dilakukan Tuhan untuk memperingatkan Daud), terlihat betapa Tuhan menekankan pentingnya keadilan sampai-sampai permintaan untuk memberi putusan yang hak diikuti lagi dengan peringatan agar tidak menyimpang dari kebenaran yang pada dasarnya mengandung makna yang sama dengan permintaan pertama –bahkan walaupun Daud telah bertobat dan diterima tobatnya (QS 38:24-25). Namun, perintah untuk berlaku adil yang dikaitkan dengan tidak mengikuti hawa nafsu masih tetap ditekankan:
Wahai Daud, Kami telah menjadikan kamu khalifah di bumi, maka berilah putusan antara manusia dengan hak dan janganlah mengikuti hawa nafsu … (QS 38:26)
Memberi keputusan yang adil saja dan tidak mengikuti hawa nafsu, belum memadai bagi seorang khalifah. Tetapi, ia harus mampu pula untuk merealisasikan kandungan permintaan kedua orang yang berselisih itu, yakni Wa ihdina ila sawa’ al-shirath.
Memahami penggalan ayat ini, dalam kaitannya dengan sifat-sifat terpuji seorang khalifah, baru akan menjadi jelas bila dikaitkan dengan ayat-ayat yang berbicara tentang Imam/a’immah, dalam kaitannya dengan pemimpin-pemimpin yang menjadi teladan dalam kebaikan. Untuk maksud tersebut, terlebih dahulu, kita akan membuka lembaran-lembaran Al-Quran untuk melihat ayat-ayat yang dimaksud.
Kata a’immah terdapat dalam lima ayat Al-Quran. Dua di antaranya dalam konteks pembicaraan tentang pemimpin-pemimpin yang diteladani orang-orang kafir, yakni Al-Taubah ayat 9, dan Al-Qashash ayat 4. Sedangkan tiga lainnya berkaitan dengan pemimpin-pemimpin yang terpuji, yaitu Al-Anbiya’ ayat 73, Al-Qashash ayat 5, dan Al-Sajdah ayat 24.
Kalau ayat-ayat di atas diamati, nyatalah bahwa QS 28:5 tidak mengandung informasi tentang sifat-sifat pemimpin. Dan ini berbeda dengan kedua ayat lainnya yang saling melengkapi.
Ada lima sifat pemimpin terpuji yang diinformasikan oleh gabungan kedua ayat tersebut, yaitu:
Yahduna bi amrina.
Wa awhayna dayhim fi’la al-khayrat.
‘Abidin (termasuk Iqam Al-Shalat dan Ita’Al-Zakat).
Yuqinun.
Shabaru.
Dari kelima sifat tersebut al-shabr (ketekunan dan ketabahan), dijadikan Tuhan sebagai konsideran pengangkatan Wa jaalnahum aimmat lamma shabaru. Seakan-akan inilah sifat yang amat pokok bagi seorang khalifah, sedangkan sifat-sifat lainnya menggambarkan sifat mental yang melekat pada diri mereka dan sifat-sifat yang mereka peragakan dalam kenyataan.
Di atas telah dijanjikan untuk membicarakan arti wa ihdina ila sawa al-shirath (QS 38:26), yang merupakan salah satu sikap yang dituntut dari seorang khalifah, setelah memperhatikan kandungan ayat-ayat yang berbicara tentang a’immat. Dalam surah Shad tersebut, redaksinya berbunyi Wa ihdina ila …, sedang dalam ayat-ayat yang berbicara tentang a’immat yang dikutip di atas, redaksinya berbunyi Yahduna bi amrina. Salah satu perbedaan pokoknya adalah pada kata yahdi. Yang pertama menggunakan huruf ila, sedang yang kedua tanpa ila. Al-Raghib Al-Isfahani menjelaskan bahwa kata hidayat apabila menggunakan ila, maka ia berarti sekadar memberi petunjuk; sedang bila tanpa ila, maka maknanya lebih dalam lagi, yakni “memberi petunjuk dan mengantar sekuat kemampuan menuju apa yang dikehendaki oleh yang diberi petunjuk”. Ini berarti bahwa seorang khalifah minimal mampu menunjukkan jalan kebahagiaan kepada umatnya dan yang lebih terpuji adalah mereka yang dapat mengantarkan umatnya ke pintu gerbang kebahagiaan. Atau, dengan kata lain, seorang khalifah tidak sekadar menunjukkan tetapi mampu pula memberi contoh sosialisasinya.
Hal ini mereka capai karena kebajikan telah mendarah daging dalam diri mereka. Atau, dengan kata lain, mereka memiliki akhlak luhur sebagaimana yang dapat dipahami dari sifat kedua yang disebutkan di atas, yakni Wa awhayna ilayhim fi’la al-khayrat.
Jika seorang berkata, “Yu’jibuni an taqum”, maka ini berarti bahwa lawan bicaranya ketika itu belum berdiri dan ia akan senang melihatnya berdiri. Pengertian ini dipahami dari adanya huruf an pada susunan redaksi tersebut. Sedangkan bila dikatakan, “Yu’jibuni qiyamuka”, maka redaksi yang tidak menggunakan an ini mengandung arti bahwa lawan bicaranya sudah berdiri dan si pembicara menyampaikan kepadanya kekagumannya atas berdirinya itu. Demikian uraian Abdul-Qadir Al-Jurjani yang disederhanakan dari Dala’il Al-Ijaz.
Dari uraian di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa seorang khalifah yang ideal haruslah memiliki sifat-sifat luhur yang telah membudaya pada dirinya.
Yuqinun dan ‘abidin merupakan dua sifat yang berbeda. Yang pertama menggambarkan tingkat keimanan yang bersemi di dalam dada mereka, sedangkan yang kedua menggambarkan keadaan nyata mereka. Kedua sifat ini sedemikian jelasnya sehingga tidak perlu untuk diuraikan lebih jauh.