DALAM khazanah budaya Jawa, bulan Apit atau Dzulqa’dah dikenal sebagai masa transisi menjelang bulan Besar (Dzulhijjah). Di berbagai desa, masyarakat mengadakan tradisi apitan atau bersih bumi. Sebuah momentum kebersamaan untuk menyucikan lingkungan, bersyukur atas panen dan rezeki, serta berdoa agar terhindar dari bala. Tradisi ini mengakar kuat sebagai ekspresi syukur komunal dan penghormatan terhadap alam yang menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari.
Dari sudut pandang Islam, segala bentuk ungkapan syukur adalah nilai luhur yang sangat dianjurkan. Bahkan, Allah SWT menegaskan dalam firman-Nya:
وَإِذْ تَأَذَّنَ رَبُّكُمْ لَئِنْ شَكَرْتُمْ لَأَزِيدَنَّكُمْ وَلَئِنْ كَفَرْتُمْ إِنَّ عَذَابِي لَشَدِيدٌ
“Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu memaklumkan, ‘Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu; dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih.'” (QS. Ibrahim: 7)
Apitan, jika diletakkan sebagai sarana ungkapan syukur kepada Allah atas karunia bumi, hujan, hasil tani, dan rezeki, maka itu sangat bisa menjadi ajang silaturahmi yang bernilai ibadah. Rasulullah SAW bersabda:
مَنْ لاَ يَشْكُرُ النَّاسَ لاَ يَشْكُرُ اللَّهَ
“Barangsiapa tidak bersyukur kepada manusia, maka ia tidak bersyukur kepada Allah.” (HR. Tirmidzi)
Namun, penting bagi kita sebagai umat Islam untuk menata niat dan bentuk pelaksanaan apitan ini agar tetap dalam koridor tauhid. Jangan sampai di dalamnya terselip unsur syirik, seperti keyakinan pada roh-roh halus, tumbal sesajen untuk penunggu, atau ritual-ritual yang bertentangan dengan ajaran Islam. Inilah titik kritis yang perlu dikawal oleh para tokoh agama, takmir, dan alim ulama kampung: bagaimana mengharmonikan budaya warisan leluhur dengan akidah yang murni.
Islam tidak menghapus budaya, tapi menyaringnya. Rasulullah SAW bersabda dalam hadis sahih:
إِنَّمَا بُعِثْتُ لِأُتَمِّمَ مَكَارِمَ الأَخْلاَقِ
“Sesungguhnya aku diutus hanya untuk menyempurnakan akhlak yang mulia.” (HR. Ahmad)
Dengan semangat inilah kita menyambut tradisi apitan: bukan untuk menolak budaya, tapi menuntunnya agar selaras dengan nilai Islam. Tradisi tidak harus dimatikan, tetapi dimurnikan. Bersih desa bisa menjadi doa bersama, makan tumpeng bisa menjadi simbol persaudaraan, dan nyadran bisa diarahkan menjadi tadabbur alam dan tahlil untuk mendoakan para leluhur—selama semua itu tidak menyalahi syariat.
Bahkan dalam banyak kisah dakwah Wali Songo, pendekatan budaya seperti inilah yang justru memperkuat dakwah Islam. Islam tidak dibawa dengan kekerasan, tapi dengan kesantunan dan adaptasi nilai luhur lokal yang disinari tauhid.
Oleh karena itu, kepada para jama’ah dan masyarakat, mari kita jadikan apitan ini sebagai momentum memperkuat ukhuwah, menghidupkan syukur, dan membersihkan bukan hanya bumi tapi juga hati. Jangan ragu untuk menyampaikan nasihat secara santun jika melihat kekeliruan dalam praktik budaya. Ingatlah sabda Nabi:
الدِّينُ النَّصِيحَةُ
“Agama itu adalah nasihat.” (HR. Muslim)
Dan dalam menyampaikan, pilihlah cara yang arif dan menyentuh:
ادْعُ إِلِىٰ سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ
“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik…” (QS. An-Nahl: 125)
Maka, biarkan bulan Apit menjadi saksi bahwa Islam dan budaya bisa bersanding, bukan berbenturan. Asal tujuannya lurus, niatnya lillah, dan bentuknya tidak menyelisihi syariat, maka apitan adalah bentuk lokalitas yang Islami. Tugas kita sebagai bagian dari takmir dan warga masyarakat adalah mengawal, mendampingi, dan mendoakan agar tradisi ini menambah iman, bukan justru menyesatkan.
Semoga Allah limpahkan barakah di bumi-bumi desa kita, bersihkan hati kita dari syirik dan dengki, dan jadikan apitan sebagai jalan menuju rahmat-Nya. Aamiin.