Jumat, Mei 9, 2025
No menu items!

Vonis “Ringan” untuk Tiga Hakim Pembebas Ronald Tannur

Must Read

JAKARTAMU.COM | Majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta Pusat menjatuhkan putusan tujuh tahun dan 10 penjara terhadap tiga hakim Pengadilan Negeri Surabaya yang terlibat dalam suap vonis bebas Ronald Tannur.

Erintuah Damanik, Mangapul, dan Heru Hanindyo, terbukti menerima suap dalam penanganan perkara pidana atas nama Ronald Tannur. Suap diberikan agar majelis hakim menjatuhkan vonis bebas terhadap Ronald yang didakwa menyebabkan kematian kekasihnya, Dini Sera Afrianti.

Dalam sidang putusan, Kamis (8/5/2025), majelis hakim memvonis Erintuah Damanik dan Mangapul masing-masing 7 tahun penjara serta denda Rp500 juta. Sementara Heru Hanindyo dihukum 10 tahun penjara dengan denda Rp750 juta. Namun, vonis tersebut lebih ringan dua tahun dibanding tuntutan jaksa sebelumnya 9 tahun untuk Erintuah dan Mangapul, dan 12 tahun untuk Heru.

Ketua Majelis Hakim Teguh Santoso menyatakan bahwa para terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar Pasal 12 huruf c dan Pasal 12B Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Uang suap yang diterima para hakim berjumlah Rp1 miliar dan SGD308 ribu, atau totalnya sekitar Rp4,6 miliar. Duit sebanyak itu disalurkan melalui pengacara Lisa Rachmat atas permintaan ibu Ronald, Meirizka Widjaja.

Majelis mempertimbangkan sikap kooperatif terdakwa dan pengembalian uang suap sebagai alasan peringan, meskipun konteks kasus ini menyangkut pelanggaran serius atas kode etik dan sumpah jabatan hakim. Erintuah mengembalikan SGD115 ribu dan Mangapul SGD36 ribu. Pengembalian uang hasil kejahatan sesungguhnya adalah kewajiban. Hal ini semestinya tidak mengaburkan fakta bahwa tindakan pelaku secara langsung mencederai prinsip keadilan dan memperdagangkan hukum demi keuntungan pribadi.

Kasus Ronald Tannur boleh jadi cerminan persoalan sistemik peradilan Indonesia. Ketika hakim yang merupakan pilar utama keadilan justru menjadi bagian dari praktik suap, dampaknya bukan sekadar pada hasil sebuah perkara tetapi pada legitimasi lembaga peradilan. Bahkan dalam konteks lebih luas terhadap hukum itu sendiri.

Hal seharusnya menuntut reformasi peradilan diselesaikan lebih cepat, termasuk pada aspek integritas individu dalam sistem. Selama jaksa, pengacara, dan hakim masih bisa “dipertemukan” untuk negosiasi di luar ruang sidang, hukum akan terus kehilangan wibawanya.

Tetapi melihat fakta bahwa vonis terhadap tiga hakim nakal PN Surabaya tersebut lebih ringan daripada tuntutan jaksa, susah mengharapkan reformasi peradilan bisa dituntaskan. Dalam dunia hakim pun, berlaku pameo  “sesama sopir harus saling membantu”.

Pagar Laut yang Terlupakan (2): Di Balik Proyek Raksasa

BAYANGAN penggusuran semakin nyata di benak warga. Kehadiran orang-orang asing yang berkeliaran di ujung desa bukan sekadar kebetulan. Mereka...
spot_img
spot_img

More Articles Like This