AKU selalu percaya rumah tangga kami berdiri di atas fondasi yang kokoh. Ada tawa, ada doa, ada mimpi yang kami anyam bersama. Namun, tak pernah kusadari, retakan itu muncul bukan dengan dentum keras, melainkan getar-getar halus yang tak terdengar.
Pagi itu, hujan turun gerimis. Rinai yang jatuh di kaca jendela seperti menggambarkan keadaan hatiku yang basah, dingin, sepi. Kau duduk di kursi sudut ruang tamu dengan mata terpaku pada layar ponsel, entah pada siapa kau menuliskan kalimat panjang yang membuatmu lupa mengucap selamat pagi.
Aku menatap punggungmu yang dulu menjadi sandaran lelahku. Kini punggung itu lebih sering berbalik, seolah ada tembok tak kasat mata yang membentang di antara kita. Pernahkah kau merasa rumah yang kau tinggali perlahan berubah menjadi gua? Sunyi, gelap, menyesakkan.
Hari-hari berikutnya, aku menemukan serpih-serpih tanda yang kian membuat napasku sesak. Wangi parfum asing yang menempel di kerah kemejamu, pesan-pesan yang terhapus sebelum aku sempat membacanya, dan senyummu yang selalu kau sembunyikan bila melihatku menatapmu.
Sore itu aku memberanikan diri. Aku duduk di hadapanmu, mencoba merangkai pertanyaan. Suaraku gemetar, “Apakah ada yang berubah di antara kita?”
Kau hanya mendesah pelan, meneguk kopi, lalu menjawab dengan datar, “Kita sama-sama sibuk. Ini cuma fase.”
Fase. Kau menyebut ketidakpedulianmu hanya fase, seakan aku hanya perlu bersabar sampai entah kapan. Padahal luka yang kau sebut sementara itu telah merambat ke seluruh dada.
Malam datang membawa dingin yang lebih tebal. Kau pulang larut, tak memberi kabar. Dalam diam, aku memeluk bantal yang tak bisa menghangatkan. Di kepalaku berputar pertanyaan: apakah aku masih perempuan yang kau inginkan, atau hanya bayangan yang terjebak di dalam rumah ini?
Ingatan lain tiba-tiba muncul. Dua tahun lalu, di kamar yang sama, kau pernah meraih tanganku dan bersumpah tak akan menyakiti. Suaramu kala itu lembut seperti senja. Namun siapa sangka senja pun bisa menipu. Ia merah jingga indah, padahal hanya pertanda gelap akan segera datang.
Dalam kesunyian, aku mulai meraba luka yang tak berwujud. Ketidakpedulianmu lebih menakutkan dari pengkhianatan. Sebab pengkhianatan punya wajah: nama, alamat, waktu pertemuan. Sementara ketidakpedulian hanya hadir seperti kabut yang melingkupi, tanpa bentuk, tanpa suara, tapi mampu membuat hati beku.
Aku bangkit dari tempat tidur, berjalan ke cermin, menatap perempuan yang menatap balik dengan mata sembab. Barangkali aku sudah terlalu lama berusaha menyangkal. Tapi malam ini aku tahu: rumah tangga kami mulai retak, dan tak ada jaminan retakan itu bisa kau perbaiki.
Ketika kau akhirnya pulang, langkahmu ringan seperti tak membawa beban. Kau menatapku sekilas, meletakkan kunci di meja, lalu pergi mandi tanpa sepatah kata. Air menetes dari jas hujanmu, menciptakan genangan kecil di lantai. Seperti hujan kecil yang setiap hari kuceritakan pada diriku sendiri: “Ini hanya gerimis. Tak akan sampai merobohkan rumah.”
Tapi bukankah rumah kadang hancur bukan oleh badai, melainkan gerimis yang tak pernah berhenti? Dan malam itu, untuk pertama kalinya, aku membayangkan bagaimana rasanya hidup tanpamu.
(Bersambung seri ke-2: Jejak Wangi yang Tak Pernah Kukenal)