Rabu, April 30, 2025
No menu items!

Begundal van Karawang (17): Buronan Nomor Satu di Batavia

Must Read

LANGIT Batavia masih diselimuti asap sisa kebakaran dari sabotase di Stasiun Jatinegara. Kabar tentang kehancuran jalur logistik Belanda menyebar cepat, membuat suasana kota semakin mencekam. Patroli bersenjata memenuhi jalan-jalan utama, menelusuri gang-gang sempit, bahkan memeriksa rumah-rumah penduduk secara brutal.

“Loekas Kustaryo!” teriak seorang perwira Belanda dalam bahasa yang kaku saat menggebrak pintu rumah seorang warga di Kampung Melayu. “Di mana dia bersembunyi?”

Si empunya rumah hanya menggeleng ketakutan. Tanpa ampun, serdadu Belanda itu menghantam wajah lelaki tua itu dengan popor senapan. Tubuhnya roboh ke tanah, darah mengalir dari pelipisnya.

Di sudut gang lain, para pejuang yang masih tersisa menyebarkan kabar: Loekas kini menjadi buronan paling dicari di Batavia. Poster dengan sketsa wajahnya dipasang di berbagai sudut kota, disertai imbalan ribuan gulden bagi siapa saja yang bisa memberi informasi tentang keberadaannya.

Sementara itu, Loekas sendiri tengah bersembunyi di sebuah rumah kecil di daerah Tanah Abang. Bersama Burhan dan Rasyid, ia merencanakan langkah berikutnya.

“Kita tidak bisa bertahan lama di sini,” bisik Burhan, menyeka keringat di dahinya. “Belanda semakin gila. Mereka mengacak-acak setiap sudut kota.”

“Kita harus keluar dari Batavia,” sahut Rasyid. “Tapi bagaimana? Semua jalur dijaga ketat.”

Loekas terdiam, menatap peta lusuh di hadapannya. Jalanan utama sudah pasti terlalu berisiko, begitu pula jalur rel yang kini hancur. Pilihan terbaik adalah menyusuri kanal-kanal kecil yang menghubungkan Batavia dengan pinggiran kota.

“Tidak,” Loekas akhirnya berbicara. “Kita tetap di sini.”

Mata Burhan membulat. “Tetap di sini? Kau gila, Loekas! Belanda akan menangkap kita dalam waktu singkat!”

Loekas mengangkat tangannya, meminta Burhan tenang. “Dengar baik-baik. Semakin keras Belanda mencari kita, semakin besar ketakutan mereka. Itu berarti kita melakukan hal yang benar.”

Rasyid menelan ludah. “Lalu apa rencanamu?”

Loekas tersenyum tipis. “Kita buat mereka semakin panik.”

Serangan di Tengah Kota

Malam itu, mereka bergerak dalam bayangan. Loekas telah menyusun rencana berani: menyerang pos penjagaan Belanda di pusat kota Batavia, tepat di depan kantor pemerintahan sementara mereka.

Dengan menyamar sebagai warga biasa, mereka berhasil mendekati pos penjagaan. Loekas membawa sebuah granat yang diselipkan di bawah jubah lusuhnya, sementara Burhan dan Rasyid masing-masing memegang pistol hasil rampasan dari patroli Belanda yang mereka jebak sebelumnya.

“Hitungan ketiga,” bisik Loekas. “Satu… dua… tiga!”

Dalam sekejap, granat dilemparkan ke tengah pos. Sebelum sempat meledak, mereka sudah berlindung di balik tumpukan peti di pasar yang sepi.

BOOOM!

Ledakan mengguncang udara. Serpihan kayu dan logam beterbangan, menewaskan beberapa serdadu Belanda dalam sekejap. Teriakan panik terdengar di mana-mana, sementara Loekas dan kelompoknya langsung bergerak kabur melalui gang-gang sempit.

Belanda yang panik menembakkan senjata secara membabi buta. Mereka mengejar ke segala arah, tapi bayangan Loekas sudah lenyap di kegelapan.

Pelarian yang Menegangkan

Dengan kejaran semakin dekat, mereka harus segera mencari tempat persembunyian baru. Namun, di setiap sudut kota, tentara Belanda berjaga. Mereka tahu bahwa kali ini Belanda tidak akan segan menembak di tempat.

“Kita harus keluar dari Batavia sekarang,” kata Burhan terengah-engah.

Loekas mengangguk. “Ke mana kita pergi?”

“Ada kontak kita di Bekasi,” jawab Rasyid. “Seorang pedagang bernama Pak Karim. Dia bisa membantu kita menyelinap keluar.”

Mereka bergerak cepat, menyelinap di antara reruntuhan bangunan dan pasar yang telah sepi. Di kejauhan, suara derap sepatu tentara Belanda semakin mendekat.

Akhirnya, setelah berjam-jam perjalanan, mereka tiba di rumah Pak Karim, seorang pria tua yang sudah lama menjadi simpatisan para pejuang.

“Demi Allah,” bisik Pak Karim ketika melihat mereka. “Kalian membawa malapetaka ke sini!”

“Kami tidak punya pilihan,” jawab Loekas. “Kami butuh bantuanmu.”

Pak Karim menghela napas. “Baiklah. Tapi kita harus cepat. Belanda akan datang kapan saja.”

Malam itu juga, mereka bersiap untuk meninggalkan Batavia. Namun, sebelum sempat bergerak, suara keras menghantam pintu depan.

BRAK! BRAK! BRAK!

“Pasukan Belanda!” desis Burhan.

Mereka terjebak.

(Bersambung seri ke-18: “Menyusup ke Bekasi”)

Audiensi LDK PWM Jateng dengan Kapolda Bahas Sinergi Dakwah hingga Literasi Digital

SEMARANG, JAKARTAMU.COM | Hangat dan penuh semangat. Hal ini mewarnai audiensi antara Lembaga Dakwah Komunitas (LDK) Pimpinan Wilayah Muhammadiyah...
spot_img

More Articles Like This