Rabu, April 30, 2025
No menu items!

Dari Bukan Siapa-Siapa Menjadi Saudara

Must Read

JAKARTAMU.COM | Tak ada yang benar-benar asing dalam naungan Muhammadiyah. Di ruang pengajian yang penuh tawa dan khidmat, dalam suasana rapat yang serius tapi bersahaja, hingga pada momen pelatihan yang menyita waktu dan tenaga, ada satu hal yang mengikat kuat: rasa persaudaraan. Bukan karena darah yang sama, bukan karena garis keturunan atau satu marga, tapi karena visi yang seirama dan hati yang senada.

Di tengah hiruk pikuk kehidupan modern yang seringkali menonjolkan individualisme, Muhammadiyah menjadi oase kebersamaan. Berhimpun dalam organisasi ini ibarat memasuki rumah besar, tempat setiap orang punya ruang untuk bertumbuh, saling menguatkan, dan—yang paling penting—menjadi saudara.

Persaudaraan yang Melebur Sekat

Tak peduli dari mana asalnya, apakah seorang guru, petani, dosen, pedagang, atau pelajar, begitu ia masuk dalam lingkaran dakwah dan gerakan Muhammadiyah, sekat-sekat sosial luruh. Dalam satu forum pengajian, seorang anak muda yang baru bergabung bisa duduk sejajar dengan tokoh senior, dan diskusi berjalan penuh penghormatan namun tanpa jarak.

Bukan hal aneh jika seseorang yang sebelumnya tak saling kenal akhirnya saling menginap di rumah satu sama lain karena pelatihan atau agenda organisasi. Bukan juga sesuatu yang mengherankan ketika seorang kader Muhammadiyah rela menempuh ratusan kilometer hanya untuk mendampingi rekannya yang sedang sakit, atau menyemangati yang sedang tertimpa musibah. Karena dalam Muhammadiyah, ikatan batin lebih kuat daripada ikatan nasab.

Gesekan yang Tak Pernah Menjadi Jurang

Lumrah adanya, jika dalam forum-forum Muhammadiyah—entah itu rapat pimpinan, sidang tanwir, musyda, musywil, atau sekadar rapat kerja ortom—ada perbedaan pendapat. Bahkan, kadang perdebatan berlangsung sengit. Namun yang membedakan adalah cara menyikapinya. Tak ada caci maki, tak ada dendam berkepanjangan. Karena prinsip tafahum (saling memahami), tasamuh (toleran), dan ta’awun (saling tolong-menolong) telah menjadi nilai hidup.

Begitu forum selesai, tangan kembali berjabat, senyum kembali merekah. Yang tadinya berseberangan pandangan pun bisa makan malam bersama, bercerita soal keluarga, pekerjaan, atau bahkan saling menawarkan bantuan. Konflik tak membekas dalam hati, karena semua tahu bahwa tujuan mereka satu: berkhidmat untuk umat, mengabdi demi kemajuan Islam dan bangsa.

Dari Kader Ortom ke Pimpinan Majelis

Banyak dari mereka yang mengawali kiprahnya di Muhammadiyah sejak remaja—dari IPM, Tapak Suci, hingga Nasyiatul Aisyiyah—yang kini memegang amanah sebagai pimpinan di majelis, lembaga, hingga struktur persyarikatan tingkat wilayah bahkan pusat. Tidak sedikit yang menyampaikan, justru dari Muhammadiyah-lah mereka belajar berorganisasi, memimpin, berpikir sistematis, berbicara di depan umum, dan menanamkan idealisme dalam kerja nyata.

Yang menarik, dalam Muhammadiyah tidak ada “senioritas yang membelenggu”. Meski ada penghormatan terhadap yang lebih dahulu, tak ada yang merasa lebih tinggi. Yang tua tak merasa lebih berhak, yang muda tak merasa lebih kecil. Semua belajar bersama, saling mengisi, dan terus bergerak dalam kerangka tajdid (pembaharuan).

Kekeluargaan yang Murni

Saat kader Muhammadiyah saling menyebut “saudara” atau “ikhwan/akhwat”, itu bukan sekadar sapaan formal. Itu panggilan yang lahir dari pengalaman bersama, perjuangan bersama, bahkan pengorbanan bersama. Mereka yang bertemu pertama kali dalam training dasar IMM, kemudian saling menguatkan saat menyusun program Hizbul Wathan, lalu bertemu lagi dalam Rapat Kerja Daerah atau Musyawarah Wilayah, menjadi kawan seperjuangan yang relasinya menembus waktu.

Tak jarang, dalam momentum-momentum tertentu, mereka saling berkirim kabar, saling bantu dana untuk kegiatan sosial, atau bahkan ikut campur tangan jika ada di antara mereka yang mengalami musibah. Ikatan ini melampaui formalitas organisasi. Ia tumbuh menjadi jaringan sosial dan spiritual yang kokoh.

Kenapa Bisa Begitu?

Mungkin karena sejak awal Muhammadiyah dibangun di atas fondasi keikhlasan dan pengabdian. Tak ada gaji dalam struktur, tak ada janji kekuasaan, tak ada transaksi politik. Yang ada hanya panggilan hati untuk berbuat baik secara terorganisir. Maka dari itu, tak heran jika orang-orang di dalamnya merasa ringan untuk memberi, membantu, bahkan berkorban.

Mereka yang tak punya hubungan darah sekalipun, bisa menangis saat berpisah setelah pelatihan nasional. Mereka yang hanya kenal lewat agenda persyarikatan, bisa saling membuka pintu rumah. Mereka yang berbeda latar belakang dan daerah, bisa satu suara saat menyusun program dakwah. Inilah kekuatan ruhiyah dan ukhuwah dalam Muhammadiyah yang tidak dibuat-buat, tapi terbangun dari kesamaan misi dan nilai.

Dari Kita Untuk Umat

Di tengah dunia yang makin kompetitif, penuh sekat, dan sering kali menjadikan manusia merasa sendiri di tengah keramaian, Muhammadiyah hadir sebagai pelipur. Di sinilah tempat seseorang yang sebelumnya bukan siapa-siapa, bisa menjadi bagian dari sesuatu yang besar dan bermakna. Tak hanya karena dia diberi amanah atau jabatan, tapi karena ia dicintai, didengar, dan dihargai.

Dalam Muhammadiyah, semua orang punya tempat. Semua orang bisa menjadi saudara. Dan dari persaudaraan itulah, lahir semangat untuk terus memberi, menginspirasi, dan mencerdaskan kehidupan umat dan bangsa.

Inilah rumah kita. Inilah keluarga kita. Inilah Muhammadiyah.

Paha Laki-Laki Termasuk Aurat: Berikut Ini Batasannya

JAKARTAMU.COM | Syaikh Yusuf Al-Qardhawi dalam bukunya berjudul "Fatwa-fatwa Kontemporer" (Gema Insani Press) mengatakan di antara hal yang telah...
spot_img

More Articles Like This