JAKARTAMU.COM | Di musim panas tahun 971 Masehi, langit Mesir tak hanya menyaksikan debu-debu perang yang beterbangan. Ia juga menjadi saksi azan baru yang berkumandang dari Masjid Ibn Tulun. Muazin menyuarakan kalimat yang asing bagi telinga warga Sunni Mesir: “Hayya ‘ala khayril ‘amal”. Bagi pengikut Syiah, itu bukan sekadar seruan salat. Itu adalah tanda rezim berganti.
Khalifah Al-Muiz Lidinillah, penguasa keempat Daulah Fatimiyah, baru saja menaklukkan Mesir dari kekuasaan Daulah Abbasiyah yang mulai lunglai. Penaklukan ini bukan keputusan spontan. Selama 17 tahun sebelumnya, Al-Muiz dengan sabar menyulam stabilitas di wilayah baratnya, dari Maroko hingga Tunisia, sembari merancang langkah besar berikutnya: merebut jantung dunia Islam bagian timur.
Dengan pasukan besar di bawah Panglima Jauhar Al-Katib, Mesir akhirnya jatuh ke tangan Fatimiyah. Tapi ambisi Al-Muiz tak berhenti pada kekuasaan. Ia ingin membangun ulang negeri para Firaun menjadi negeri para ilmuwan dan pemikir.
Di pinggiran Sungai Nil, Jauhar mulai merancang kota baru. Kota itu diberi nama Al-Qahirah maknya “yang menang”. Dari nama itu, sejarah mencatat babak baru peradaban. Al-Qahirah—yang kemudian dikenal sebagai Kairo—menjadi ibu kota baru Daulah Fatimiyah, menggantikan Mahdiyah di pesisir Tunisia. Sebuah simbol dari bergesernya pusat gravitasi politik, dari Maghrib ke Mesir.
Kairo bukan sekadar kota. Ia adalah mahakarya politik, arsitektur, dan ideologi. Di sana, Al-Muiz mendirikan istana megah sebagai pusat pemerintahan dan simbol kemuliaan daulah. Tapi bangunan terpenting bukanlah istana itu, melainkan sebuah perguruan tinggi: Al-Jami’ Al-Azhar. Diresmikan pada 7 Ramadan 361 H (22 Juni 972 M), Al-Azhar awalnya didirikan untuk menyebarkan paham Syiah Ismailiyah, mazhab resmi Daulah Fatimiyah.
“Al-Muiz bukan hanya penakluk wilayah. Ia adalah penakluk wacana,” tulis Syamruddin Nasution dalam Sejarah Peradaban Islam. Al-Muiz dikenal sebagai sosok cerdas, multibahasa, pecinta sastra, dan ahli siasat. Ia bukan hanya memerintah, tapi mendidik, bukan hanya membangun istana, tapi juga peradaban.
Di bawah kekuasaannya, Fatimiyah berkembang pesat. Wilayahnya meluas hingga Syam dan Palestina. Namanya bahkan disebut di atas mimbar Masjidil Haram dan Masjid Nabawi. Ini merupakan pengakuan tak resmi bahwa Fatimiyah mengklaim kepemimpinan atas seluruh umat Islam.
Dari segi ekonomi, Al-Muiz mengembangkan industri tekstil, kerajinan emas-perak, kaca, madu, dan obat-obatan. Strategi ini bukan hanya soal pemasukan negara, tapi juga memastikan rakyat bisa merasakan kemakmuran. “Negara tidak bisa besar jika rakyatnya kecil,” kira-kira begitu prinsip yang ia jalankan.
Namun sejarah mencatat, sekalipun cemerlang, Fatimiyah tak pernah sepenuhnya menyaingi kebesaran ilmiah Baghdad atau keanggunan Andalusia. Abbasiyah memimpin dalam filsafat, astronomi, dan kedokteran. Umayyah Cordova unggul dalam arsitektur dan pertanian. Sementara Fatimiyah menciptakan ekosistem Syiah dan menancapkan fondasi ilmu di Mesir.
“Tak ada kekuasaan sebelum atau sesudahnya, dari Idrisiyah hingga Mamluk, yang mampu menyamai capaian kultural Daulah Fatimiyah di Mesir,” tulis Nasution.
Kini, Al-Azhar yang dulu dibangun sebagai pusat pemikiran Syiah justru menjadi mercusuar Islam Sunni di dunia. Wajahnya berubah, tapi fondasinya tetap: ilmu, adab, dan kekuasaan.
Kairo yang semula dibangun sebagai benteng ideologi kini menjadi kota tua yang menua dalam sejarah. Tapi denyutnya masih terasa. Karena seperti kata sejarawan Arab klasik: “Mesir adalah negeri para raja, dan Kairo adalah mahkotanya.”