JAKARTAMU.COM | Ketika Mu’awiyah bin Abi Sufyan mengambil alih tampuk kekhalifahan setelah wafatnya Ali bin Abi Thalib, ia bukan hanya mewarisi kursi kekuasaan. Ia juga membawa tafsir baru atas ajaran lama. Salah satunya adalah doa yang diucapkan Nabi Muhammad ﷺ setiap selesai salat:
“Tiada Tuhan selain Allah, tiada sekutu bagi-Nya. Wahai Allah, tidak ada yang mampu menghalangi apa yang Engkau beri, tidak juga ada yang mampu memberi apa yang Engkau halangi, dan tidak berguna upaya siapa pun, karena semuanya berasal dari-Mu.” (HR. Bukhari)
Doa ini lalu dipopulerkan Mu’awiyah di tengah masyarakat Islam yang baru mulai pulih dari perang saudara. Sebuah langkah yang tampak religius, namun—sebagaimana dicatat oleh Abdul Halim Mahmud, mantan Grand Syaikh Al-Azhar—penuh muatan politis. Dalam Al-Tafkir Al-Falsafi fi Al-Islam (hal. 203), Mahmud menilai bahwa penyebarluasan doa tersebut dilakukan dengan maksud mengesankan bahwa semua kejadian, termasuk kezaliman penguasa, adalah kehendak Tuhan. Upaya melawan, karenanya, dipandang sia-sia.
Di tangan Dinasti Umayyah, konsep takdir berubah dari sumber harapan menjadi alat kekuasaan. Kedaulatan langit dijadikan tameng kekuasaan dunia. Tidak sedikit cendekiawan kemudian menilai bahwa perluasan paham takdir versi Umayyah adalah strategi untuk menundukkan umat secara ideologis.
Namun tafsir semacam itu tidak diterima begitu saja. Sebagian ulama menolaknya secara tegas, bahkan menyatakan la qadar—tidak ada takdir. Mereka berpendapat bahwa manusia sepenuhnya bebas memilih. Jika tidak, bagaimana mungkin Tuhan mengadili manusia atas kesalahan yang tak bisa ia hindari?
Argumen mereka mengacu pada firman Allah. “Barang siapa yang hendak beriman, silakan beriman; dan barang siapa yang hendak kafir, silakan kafir.” (QS Al-Kahf [18]: 29)
Ayat ini menegaskan adanya kebebasan kehendak. Bahwa manusia adalah subjek moral yang bertanggung jawab atas pilihan-pilihannya.
Namun pandangan ini pun tidak lepas dari kritik. Menurut kubu lain, memberi kebebasan mutlak pada manusia berarti mengurangi kekuasaan Tuhan. Bukankah Allah telah berfirman:“Allah menciptakan kamu dan apa yang kamu lakukan.” (QS Al-Shaffat [37]: 96)
Serta: “Kalian tidak dapat menghendaki (sesuatu) kecuali jika dikehendaki oleh Allah.” (QS Al-Insan [76]: 30)
Kedua ayat ini dijadikan pegangan bahwa segala kehendak manusia tetap berada di bawah kehendak Tuhan.
Dua kutub ini terus bergulir dalam perdebatan kalam. Antara kebebasan mutlak dan determinisme absolut. Antara qadar dan ikhtiar. Masing-masing pihak mengklaim berpijak pada Al-Qur’an, sebagaimana catatan M. Quraish Shihab dalam Wawasan Al-Qur’an: Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai Persoalan Umat (Mizan, hlm. 264): “Seperti banyak orang yang mencintai si Ayu, tetapi Ayu sendiri tidak mengenal mereka.”
Quraish menyindir bahwa banyak pihak menafsirkan Al-Qur’an sesuai kepentingannya sendiri. Bukan memahami Al-Qur’an sebagai satu kesatuan, tetapi mengambil potongan ayat sesuai selera dan kepentingan.
Kondisi ini diperparah oleh dua faktor: penguasa yang memelintir teks agama demi legitimasi, dan umat yang terlambat bangkit dari keterbelakangan berpikir. Maka tidak mengherankan jika paham takdir dalam bentuk fatalisme makin meluas. Umat menjadi pasif, menerima penderitaan sebagai “takdir” yang tak bisa diubah, padahal di balik semua itu ada struktur kekuasaan yang bekerja sistematis.
Berbeda dengan sikap Rasulullah dan para sahabat. Meski mereka sepenuhnya yakin bahwa segala sesuatu berada dalam genggaman Allah, keyakinan itu tak membuat mereka diam. Mereka menyingsingkan lengan baju, berperang, berdiplomasi, membangun negara. Ketika kalah dalam Perang Uhud, misalnya, Nabi tak menyalahkan takdir. Ia mengkoreksi strategi, memperbaiki barisan.
Mereka tidak memahami Al-Qur’an sepotong-sepotong, melainkan secara integral. Ayat-ayat tentang kehendak Allah dipahami dalam keseimbangan dengan ayat-ayat tentang tanggung jawab manusia. Itulah mengapa, menurut Quraish Shihab, Nabi tidak pernah mendiskusikan takdir dalam kerangka spekulatif seperti yang dilakukan para teolog sesudahnya.
Doa yang dihidupkan kembali oleh Mu’awiyah sebetulnya bukan persoalan. Yang menjadi masalah adalah konteks, niat, dan penggunaan doa itu sebagai alat politik. Dalam sejarah Islam, ini bukan kasus tunggal. Hampir semua penguasa, dari Dinasti Umayyah hingga penguasa modern, pernah tergoda menggunakan ayat atau hadis sebagai pelumas kekuasaan.
Yang perlu diajarkan ulang barangkali bukan sekadar isi doa, tetapi kesadaran bahwa dalam Islam, doa bukan jalan pintas untuk melegitimasi nasib. Doa adalah komunikasi spiritual yang seharusnya menyadarkan manusia pada keterbatasan dirinya—bukan untuk menundukkan orang lain dengan topeng ilahiah.
Seperti kata Quraish Shihab dalam Wawasan Al-Qur’an, menyikapi takdir seharusnya bukan dengan menyerah, tetapi dengan usaha. Sebab rahmat Allah terbuka bukan bagi mereka yang pasrah membeku, tetapi bagi yang berjalan meski tertatih. (*)