JAKARTAMU.COM | Malam kian merangkak di Damaskus ketika Umar bin Abdul Aziz menuliskan dekritnya yang terakhir: memutus tunjangan istimewa bagi keluarga kerajaan. Seorang khalifah yang menolak hidup seperti raja. Ia mengembalikan tanah rampasan, menolak suap dari istana, dan melarang pengultusan politik atas nama agama. Pada masanya, baitul mal kembali makmur. Orang-orang miskin tak lagi mengulurkan tangan.
Seratus tahun setelah hijrah Nabi, muncul seorang khalifah yang mengubah arah sejarah. Bukan dengan pedang, tapi dengan pena dan teladan. Para ulama kemudian menyebut Umar sebagai mujaddid pertama, sosok yang membenahi agama dari kerak-kerak politik dan penyimpangan.
Konsep mujaddid muncul dari sabda Nabi Muhammad SAW: “Sesungguhnya Allah akan mengutus bagi umat ini, pada setiap penghujung seratus tahun, orang yang memperbarui agama mereka.” Hadis ini diriwayatkan Abu Dawud dan dianggap sahih oleh Imam Hakim dan al-Albani. Tapi tafsirnya terbuka. Apakah mujaddid harus ulama? Atau cukup menjadi reformis? Apakah harus satu orang? Atau satu generasi?
Sejarah Islam seperti garis patah-patah yang disambung oleh tangan para pembaharu. Di antara retakan itu, muncullah Hasan al-Bashri, sufi pertama yang bicara lantang soal ketidakadilan dan kehampaan dunia. Basrah menjadi mimbar kritik spiritual yang mengguncang kekuasaan.
Lalu datang Imam Syafi’i. Di tengah tarik-menarik antara ahli hadis dan ahli ra’yu, ia menyusun metode fikih pertama: al-Risalah. Ia menjembatani teks dan nalar, dalil dan logika. Bukan hanya membela sunnah, tapi juga membekali umat agar tak buta ketika menafsirkan wahyu.
Abad ketiga melahirkan Imam Nasa’i, yang berani menulis Khasais Ali di tengah dominasi Bani Umayyah. Satu abad berikutnya, muncul Imam Baihaqi, yang menyusun ensiklopedia hadis terbesar dalam sejarah Sunni. Tapi nama-nama besar lain—seperti Malik, Ahmad, al-Bukhari, atau Muslim—justru luput dari gelar mujaddid. Sebab tak hidup tepat di ujung abad?
Garis waktu tajdid memang tak selalu logis. Kadang Tuhan mengutus pembaharu tanpa menunggu kalender.
Abad modern menghadirkan paradoks. Di tengah kemunduran politik, justru muncul pembaharu dalam bentuk gerakan dakwah. Muhammad bin Abdul Wahhab misalnya, menyeru tauhid di tengah masyarakat yang larut dalam syirik. Tapi gelar mujaddid yang melekat padanya pun tak lepas dari kontroversi. Dituding wahabi, dituding puritan, dituding mencabik harmoni tradisi.
Di tempat lain, Muhammad Abduh dan Jamaluddin al-Afghani bicara tentang Islam dan rasionalitas. Di Indonesia, Hasyim Asy’ari membela tradisi pesantren dengan basis sanad, sementara Ahmad Dahlan menyerukan pendidikan modern. Tapi keduanya tak pernah disematkan sebagai mujaddid resmi, sebab sejarah Islam terlalu Arab-sentris.
Pada abad ke-15 Hijriah, suara paling nyaring datang dari Syaikh Albani—seorang ahli hadis autodidak dari Albania yang membongkar ratusan hadis palsu. Ia menjungkirbalikkan dunia sanad dan memaksa umat kembali memilah: mana yang sunnah, mana yang hanya warisan.
Kini, dua puluh lima tahun telah berlalu sejak abad ke-15. Dunia Islam makin gaduh. Fatwa jadi senjata politik. Ulama berjejal di layar kaca, tapi suara mereka makin seragam: menguatkan kekuasaan, bukan menegur kezaliman.
Lalu, siapa mujaddid abad ke-15 itu? Tidak ada konsensus. Barangkali karena belum ada yang layak. Atau karena umat telah lelah mencari. Atau jangan-jangan, karena Tuhan sedang menghukum kita dengan ketiadaan pembaharu.
Tapi satu hal pasti: tajdid bukan hanya tugas seorang. Ia adalah semangat yang hidup dalam jiwa orang-orang jujur. Yang berani menyaring ajaran dari kerak bid’ah, menyuarakan keadilan di tengah riuh kekuasaan, dan menyalakan kembali iman yang redup diselimuti zaman.
Tajdid bukan kosmetik agama. Ia adalah revolusi diam-diam. Dan mungkin, satu-satunya cara agar Islam tetap bernyawa.