Sabtu, Agustus 9, 2025
No menu items!

Takdir yang Terukur: Tafsir Kadar dalam Al-Qur’an Menurut Quraish Shihab

Upaya memaknai takdir dalam Al-Qur’an menempatkan manusia bukan sebagai korban ketentuan Allah yang tidak bisa ditawar, melainkan sebagai makhluk berakal yang diberi ruang memilih di antara hukum-hukum-Nya.

Must Read
Miftah H. Yusufpati
Miftah H. Yusufpati
Sebelumnya sebagai Redaktur Pelaksana SINDOWeekly (2010-2019). Mulai meniti karir di dunia jurnalistik sejak 1987 di Harian Ekonomi Neraca (1987-1998). Pernah menjabat sebagai Pemimpin Redaksi Majalah DewanRakyat (2004), Wakil Pemimpin Harian ProAksi (2005), Pemimpin Redaksi LiraNews (2018-2024). Kini selain di Jakartamu.com sebagai Pemimpin Umum Forum News Network, fnn.co.Id. dan Wakil Pemimpin Redaksi Majalah FORUM KEADILAN.

JAKARTAMU.COM | Pada suatu siang di tahun ke-17 Hijriah, Khalifah Umar bin Khattab membatalkan kunjungannya ke Syam. Wabah sedang melanda negeri itu. Di hadapan para sahabat, Umar memutuskan menarik rombongan kembali ke Madinah. Seorang di antara mereka bertanya, “Apakah engkau lari dari takdir Allah, wahai Amirul Mukminin?” Umar menjawab tenang, “Aku lari dari satu takdir Allah menuju takdir-Nya yang lain.”

Jawaban itu menggambarkan salah satu wajah takdir yang jarang didiskusikan secara adil: bahwa takdir bukanlah jebakan, melainkan batas yang bisa dituju atau dihindari. Dalam logika Al-Qur’an, takdir bukan semata garis mati. Ia adalah kadar, ukuran, batas, dan takaran, yang disematkan Allah pada makhluk-Nya.

“Takdir,” tulis M. Quraish Shihab dalam Wawasan Al-Qur’an, “berasal dari akar kata qadara, yang berarti mengukur atau memberi batas.” Maka saat dikatakan Allah menakdirkan sesuatu, itu berarti Dia menetapkan ukuran atau kadar bagi eksistensi, sifat, dan kemampuan makhluk-Nya.

Pandangan ini bukan sekadar tafsir lepas. Quraish Shihab menunjuk pada Surat Al-A’la ayat 1-3 sebagai pijakan utama: “Sucikanlah nama Tuhanmu Yang Mahatinggi, yang menciptakan dan menyempurnakan (ciptaan-Nya), dan yang menentukan takdir lalu memberi petunjuk.” (QS Al-A’la [87]: 1-3). Takdir bukan akhir dari sebuah proses, tetapi satu tahap dari penciptaan yang kemudian dilanjutkan dengan hidayah, bimbingan.

Ayat-ayat lain menegaskan bahwa seluruh alam tunduk pada takdir: “Matahari beredar di tempat peredarannya. Demikianlah ketetapan (takdir) dari Yang Mahaperkasa lagi Maha Mengetahui.” (QS Yasin [36]: 38), dan juga bulan, “Kami tetapkan baginya manzilah-manzilah…” (QS Yasin [36]: 39). Termasuk rerumputan yang tumbuh, lalu menghitam kering (QS Al-A’la [87]: 5).

Namun, manusia tidak seperti rerumputan. Ia bukan bulan yang sekadar patuh pada orbit. Ia memiliki kehendak, pilihan, dan akal. Di sinilah takdir memasuki wilayah yang rumit. Takdir bukan penentu pilihan manusia, tapi memberi batas pada ruang pilihan itu. “Manusia tidak dapat terbang, kecuali dengan akal menciptakan alat. Tapi akal pun punya batas yang ditetapkan,” tulis Quraish Shihab.

Karena itu, manusia bukan bebas mutlak dan bukan pula makhluk deterministik. Ia makhluk yang dilingkupi sunnatullah – hukum-hukum Allah – tetapi diberi kebebasan memilih di antara hukum itu. Api membakar, angin menyejukkan; manusia boleh memilih membakar atau mendinginkan. “Api yang membakar adalah takdir. Tapi keputusan untuk menyalakan atau menjauhinya, juga takdir—takdir pilihan,” ujar Quraish Shihab.

Di titik inilah, sunnatullah dan takdir beririsan. Tetapi keduanya tak sepenuhnya identik. Menurut Quraish Shihab, sunnatullah dalam Al-Qur’an merujuk pada hukum sosial Tuhan yang berlaku atas umat dan masyarakat, seperti dalam QS Al-Ahzab (33): 38 atau Fathir (35): 43. Sedang takdir mencakup pula hukum alam semesta, termasuk orbit planet, proses hujan, hingga kematian rerumputan.

Tentu saja, dalam narasi populer, takdir kerap hanya muncul saat kemalangan. Sakit, kecelakaan, kemiskinan—semuanya dijustifikasi dengan kata “takdir.” Padahal, kata Quraish Shihab, takdir baik dan buruk harus diimani sama rata. Itulah pengakuan iman yang utuh. Nabi Muhammad SAW bersabda, “…dan kamu harus percaya kepada takdir Allah yang baik maupun yang buruk.”

Jika takdir adalah sistem pengukuran Tuhan atas ciptaan-Nya, maka manusia—sebagai makhluk yang diberi daya akal dan rasa—justru diminta menyesuaikan diri dengan ukuran itu. Seperti Umar yang menolak masuk wilayah wabah bukan karena membangkang takdir, tetapi karena memilih takdir lain yang lebih baik.

Imam Ali bin Abi Thalib pun bertindak sama ketika ia pindah dari tembok rapuh. Ketika ditanya, jawabannya senada dengan Umar: “Aku memilih takdir Allah yang menyelamatkan daripada yang mencelakakan.”

Takdir, akhirnya, bukan penghapus ikhtiar. Justru sebaliknya: takdir meniscayakan kehati-hatian, daya pilih, dan permohonan kepada Tuhan agar ditunjukkan mana kadar yang paling maslahat. Salah satu doa Nabi menyiratkan hal itu: “Ya Allah, jangan Engkau biarkan aku sendiri walau sekejap pun.”

Begitulah. Takdir bukan vonis mati, melainkan sistem ukuran Tuhan yang mengatur semesta. Bagi manusia, ia menjadi ruang tafsir sekaligus arena usaha. Karena itu, seperti sabda Nabi, bukan hanya yang buruk—tapi segala yang baik pun, adalah takdir. Yang tak bisa dielakkan, tapi bisa diarahkan. (*)

Tarif Rp80, Jalan Menuju Transportasi Inklusif

Oleh Zulfahmi Yasir Yunan | Ketua Pimpinan Wilayah Pemuda Muhammadiyah DKI Jakarta UNTUK merayakan ulang tahun ke-80 Indonesia, Pemerintah Provinsi...

More Articles Like This