BERHATI-hati dalam setiap tindakan adalah bagian penting dari prinsip hidup seorang muslim, terutama saat menyangkut hal-hal yang syubhat, yang belum jelas kehalalannya. Dalam konteks perjalanan atau traveling, sikap kehati-hatian ini seharusnya juga berlaku dalam memilih tempat menginap. Di sinilah peran penting hotel syariah menjadi relevan, bahkan seharusnya menjadi prioritas utama bagi traveler muslim.
Hotel syariah hadir sebagai jawaban atas kebutuhan kaum muslimin akan penginapan yang sesuai dengan nilai dan prinsip Islam. Kehadirannya merujuk pada Fatwa Dewan Syariah Nasional MUI No. 108/DSN-MUI/X/2016, yang mendefinisikan hotel syariah sebagai penyedia akomodasi yang menawarkan layanan kamar, makanan, minuman, hiburan, dan fasilitas lainnya, semuanya dijalankan berdasarkan prinsip syariah.
Lalu, apa bedanya hotel syariah dengan hotel konvensional?
Secara umum, perbedaannya terletak pada penerapan nilai-nilai Islam dalam seluruh aspek pelayanan. Makanan dan minuman yang disajikan di hotel syariah sudah bersertifikat halal. Setiap layanan dirancang untuk mendukung tata cara hidup seorang muslim, mulai dari fasilitas bersuci di toilet dengan ketersediaan air, hingga suasana hotel yang tenang tanpa keberadaan bar atau hiburan malam.
Suasana yang ditawarkan pun lebih kondusif secara spiritual. Tidak ada musik hingar-bingar atau minuman keras. Sebaliknya, di kamar hotel tersedia alat salat dan Al-Qur’an, memudahkan tamu untuk beribadah tanpa harus repot membawa perlengkapan sendiri.
Salah satu prinsip penting dalam operasional hotel syariah adalah ketegasan dalam aturan menginap bagi pasangan. Resepsionis hotel akan meminta bukti sah pernikahan, seperti buku nikah, KTP dengan alamat yang sama, atau scan akta nikah di ponsel. Jika tidak dapat menunjukkan bukti tersebut, pasangan yang bukan suami istri tidak akan diizinkan menginap. Meski tegas, pemeriksaan dilakukan dengan sopan dan penuh hormat.
Bandingkan dengan sebagian penginapan konvensional, yang sering kali hanya mengejar keuntungan. Dalam praktiknya, tak sedikit pemilik penginapan yang mengabaikan norma agama dan etika sosial, menyewakan kamar kepada siapa pun tanpa memperhatikan latar belakang atau tujuan penyewaan. Tak jarang, penginapan dijadikan tempat praktik zina dan prostitusi.
Persaingan bisnis yang ketat kadang mendorong pelaku usaha untuk mengesampingkan nilai moral. Demi keuntungan, mereka rela menutup mata terhadap pelanggaran norma yang terjadi di tempat usaha mereka sendiri.
Karena itulah, kaum muslimin yang sedang bepergian sebaiknya menjadikan hotel syariah sebagai pilihan utama, selama tersedia di wilayah yang dituju. Kecuali dalam keadaan darurat—misalnya, tidak ada hotel syariah sama sekali—maka memilih penginapan berbasis syariah adalah bentuk nyata dari kehati-hatian dalam menjaga kesucian dan keberkahan perjalanan. (*)