JIKA waktu menemuiku, aku pun bahagia karena masih sesegar ini. Aku menyaksikan anak pertamaku menjadi orang nomor dua di desa yang gemah ripah loh jinawi. Telah kusiapkan rencana menaikkannya menjadi orang nomor satu seperti yang pernah aku alami.
Desa yang gemah ripah loh jinawi, bahkan menurutku telah tentrem kartaraharja, adil makmur dan maju.
Semua – paling tidak hampir semua – telah aku satukan di bawah lurah penggantiku yang setia sowan ke rumahku di dusun sebelah, masih sedesa ini juga.
Kapan-kapan selalu kuingat dan eksekusi untuk saling berbagi. Termasuk sawah, tegalan dan tambang pasir. Dan, sumber air di pinggiran desaku amat indah, subur. Di lingkungan gunung yang memancarkan air dari punggung hingga mata kakinya.
Ono rupo ono rego. Kesetiaan diganjar, kekritisan dan kekurangajaran segera aku hajar sampai masuk ke liang lahat. Akulah hukum, akulah perintah kepada seragam beraneka warna itu, karena aku panglima tertinggi dan politik kini adalah panglima yang melekat padaku.
Namun aku pun bisa tega meninggalkan Ibu Ratu. Ia memberikanku jalan sekaligus menjengkelkan karena rewel dan mengaku paling berjasa berkat ayahnya. Aku pun dengan senang hati dipuja puji, sebagai ganti balas budi atas pembagian kekuasaan dan uang: Dari gedean hingga kelas recehan.
Orang boleh menduga dan mengharapkan mantan pejabat, apalagi lurah, dalam rengkuhan lansia, segeralah duduk manis dan bermain dengan cucu.
Aku tidak bisa….
Sampai waktuku tiba