SAAT dusta disulam dalam kata,
dibingkai rapi atas nama logika,
kebenaran terdiam dalam luka,
menggigil di ujung suara yang dibungkam dunia.
Saudaraku,
ini bukan tentang siapa yang banyak bicara,
bukan pula siapa yang disorot kamera.
Kebenaran tak butuh sorak sorai manusia,
ia cukup hadir—meski sunyi membungkusnya.
Mereka bersilat kata, mengisi ruang-ruang udara,
menyulap abu menjadi bara,
mengaburkan batas antara salah dan benar
hingga kebenaran disangka fitnah yang liar.
Kita pun kadang terjebak dalam sangkar,
terlalu lihai memanipulasi sadar,
hingga lupa bahwa dusta itu lumpur,
yang akan menenggelamkan akal yang semula jernih dan luhur.
Kebenaran, saudaraku,
adalah mata air jernih yang tak bisa diracuni waktu,
ia akan mengalir ke celah-celah batu,
dan meledak bila tertahan terlalu lama dalam bisu.
Sehebat apapun kebohongan dibentangkan,
ia tetap rapuh di hadapan nurani yang lapang.
Maka janganlah tertipu oleh gelar atau pakaian,
karena setan pun dahulu tampak paling berilmu di antara kawan.
Rasulullah telah bersabda terang:
“Tidaklah lurus iman seseorang hingga lurus hatinya,
dan tidaklah lurus hatinya hingga lurus lisannya…”
(HR. Ahmad dan al-Baihaqi, naskah yang tak lekang dimakan zaman)
Maka, bila lisan telah menjadi cambuk dusta,
hati pun mengeras seperti batu,
dan iman pun bisa luruh seperti debu
dihempas angin keraguan dari segala penjuru.
Kita harus waras di tengah riuh,
di mana pembenaran disulap menjadi tameng palsu.
Karena, seperti kata para bijak dahulu:
“Pendusta mencuri akalmu, bukan hanya ucapmu…”
Maka berhati-hatilah, saudaraku.
Jangan percaya pada wajah yang ramah,
bila di belakangnya menebar fitnah,
karena teman yang menggunjingkan saudaramu,
akan dengan mudah menggunjingkanmu pula suatu masa.
Kebenaran tak perlu panggung megah,
ia hanya butuh satu hati yang istiqamah.
Biarkan orang mencaci dan menyangsikan,
karena kebenaran tak didefinisikan oleh tepuk tangan.
Bila hanya sedikit yang tetap di jalan terang,
jangan takut menjadi sunyi dalam juang.
Karena bukankah Musa tetap berdiri tegar,
meski lautan dan Firaun mengepung dari segala arah?
Musuh sejati kita adalah kebenaran yang kita sembunyikan,
karena dari situlah bersemi seluruh kehancuran.
Mereka yang marah saat kebenaran disuarakan,
adalah mereka yang menyulam hidup di atas kepalsuan.
Ketulusan adalah cermin bening,
yang membuat wajah kebenaran tak perlu kosmetik kepentingan.
Maka jangan biasakan membenarkan yang biasa,
tapi biasakanlah melakukan yang benar—meski tak biasa.
Bila kau ragu atas kebenaran,
beri ruang untuk pembuktian.
Karena saudara terbaik adalah yang berani mengoreksi,
bukan yang memuji untuk menjebakmu dalam ilusi.
Saudaraku,
jangan merasa sendiri di jalan ini.
Meski sunyi, jalan kebenaran adalah jalan suci.
Kita tak butuh mayoritas untuk membenarkan nurani,
cukup Allah yang Maha Melihat—tempat seluruh kejujuran bersaksi.
Karena suatu hari,
kebenaran akan bangkit dari puing-puing pembenaran,
dan ia akan bersinar
dengan cahaya yang tak dapat dipadamkan oleh siapa pun,
meski mereka adalah penguasa dunia dalam sepatu emas
dan lidah-lidah yang berselimut manis.
Semoga Allah selalu menuntun kita,
di jalan para pecinta cahaya.
Agar kita tak lelah menegakkan kebenaran,
meski badai dusta datang tanpa peringatan.
Aamiin.