Sabtu, Juli 19, 2025
No menu items!

Dua Luka dalam Satu Atap (19): Jeda yang Menyelamatkan

Must Read

MALAM bergulir panjang setelah telepon itu berakhir. Hujan tak juga reda, menetes di atas genting rumah ibu dengan irama yang ganjil seperti suara hati yang tak kunjung selesai menyusun alasan untuk tetap kuat.

Aku duduk lama di kursi rotan, memeluk lutut sendiri. Di sebelahku, vas bunga krisan kuning berdiri tabah dalam cahaya temaram lampu bohlam. Daun-daunnya yang hijau pucat mengingatkanku bahwa ada yang bisa tetap bertahan di tengah apa pun.

Jeda ini, pikirku, bukan pelarian. Jeda ini adalah satu-satunya cara menyelamatkan diriku sebelum semuanya ambruk.

Karena dulu, setiap kali luka datang, aku selalu berpikir cara terbaik menyembuhkannya adalah pulang lebih cepat, memaafkan lebih cepat, mengalah lebih cepat. Aku kira cinta hanya akan selamat jika kita tak pernah pergi terlalu lama.

Tapi ternyata, ada luka yang justru membusuk ketika terus disimpan di rumah yang tak lagi mau merawatnya.

Pagi datang dengan aroma kopi ibu yang menenangkan. Aku duduk di meja makan, mengaduk sendok perlahan. Ibu memerhatikanku tanpa banyak bertanya, hanya sesekali menatap mataku seakan ingin memastikan aku tak lagi akan jatuh di lubang yang sama.

“Aku mau coba tinggal di sini beberapa waktu,” kataku akhirnya. Suara itu terdengar pelan, nyaris seperti bisikan.

Ibu mengangguk pelan, seakan sudah lama menyiapkan jawabannya. “Rumah ini selalu terbuka. Untukmu. Untuk cucuku nanti.”

Aku menunduk. Ada seutas lega yang merambat pelan di dadaku. Barangkali inilah yang disebut rumah: tempat yang tak pernah menuntut, hanya menanti dengan kesabaran yang panjang.

Siang itu, aku menulis surat. Bukan surat perpisahan, bukan juga surat kepastian. Hanya selembar kertas dengan kalimat yang jujur, yang akhirnya bisa kutulis tanpa getar di tangan:

> Aku belum tahu bagaimana akhirnya cerita kita. Tapi saat ini, aku harus berhenti mencoba menjadi peredam bagi segalanya. Aku juga manusia yang berhak lelah. Berhak sedih. Berhak mengambil jarak, agar tak terus kehilangan diriku sendiri.

Kertas itu kulipat, kumasukkan ke dalam amplop cokelat. Aku belum tahu kapan akan mengirimkannya padamu. Mungkin nanti. Mungkin tak pernah. Tapi menulisnya saja sudah membuatku merasa sedikit lebih utuh.

Menjelang sore, ponselku bergetar lagi. Kali ini bukan pesan dari kamu, melainkan dari anak kita.

> Ibu sehat?

Aku kangen.

Air mataku tumpah seketika. Rindu pada anak ternyata lebih besar daripada luka pada pasangan. Rindu yang tak menghakimi. Rindu yang tak menuntut penjelasan.

Aku membalas cepat:

> Ibu sehat. Ibu juga kangen. Nanti kalau sudah siap, Ibu pulang menemuimu.

Malam turun. Angin dingin menyusup lewat celah jendela. Aku menutup gorden, memeluk selimut, menatap langit-langit kamar masa kecilku. Di sana, segala sesuatu terasa lebih sederhana.

Aku teringat lagi percakapan terakhir kita suaramu yang berat, pertanyaanmu yang tak sempat kujawab tuntas. Mungkin memang kita terlalu lama saling diam. Terlalu lama saling pura-pura kuat.

Tapi jeda ini, aku tahu, bukan pengkhianatan. Jeda ini semacam tali pengaman, agar aku tak jatuh sepenuhnya.

Karena aku sudah berkali-kali memaafkan tanpa memberi ruang bagi lukaku sendiri untuk diakui. Sudah berkali-kali pulang sebelum luka kering. Dan akhirnya, semua yang kupendam hanya berubah jadi dendam yang sunyi.

Kali ini, aku memilih berbeda.

Kali ini, aku memilih tak tergesa.

Mungkin besok aku akan bicara padamu. Mungkin minggu depan. Mungkin lebih lama.

Tapi untuk malam ini, aku hanya ingin diam. Membiarkan jeda memelukku.

Dan diam-diam, aku mulai percaya: mungkin jeda inilah yang akan menyelamatkan aku. Menyelamatkan kita. (*)

(Bersambung seri ke-20: Pulang yang Tak Sama Lagi)

Tom Lembong Divonis 4,5 Tahun, Anies Baswedan: Yang Berakal Sehat Pasti Kecewa

JAKARTAMU.COM | Gubernur DKI Jakarta periode 2017–2022 Anies Baswedan sangat kecewa atas vonis majelis hakim terhadap Menteri Perdagangan periode...

More Articles Like This