MALAM turun tanpa upacara. Langit meredup perlahan, menutup sisa senja yang tadi sempat memberiku kehangatan singkat. Di meja ruang tamu rumah ibu, bunga krisan kuning yang kubeli siang tadi masih segar di dalam vas plastik bening. Aku duduk di kursi kayu, memandangi kelopak-kelopaknya yang merekah.
Lucu, pikirku. Betapa satu bunga kecil bisa membuatku merasa lebih damai daripada banyak percakapan panjang yang pernah kita jalani percakapan yang selalu berakhir di simpang kebisuan, seolah kita berdua tak pernah cukup berani mengakui bahwa cinta kita sudah kehabisan alasan.
Ponselku bergetar lagi. Malam ini kau menelepon, bukan sekadar mengirim pesan. Aku sempat menatap layar lama. Nama yang dulu membuat jantungku berdebar kini terasa hanya deretan huruf. Aku menimbang, menelan ludah, lalu akhirnya menyentuh ikon hijau.
“Halo,” kataku, suaraku serak.
Kau diam beberapa detik. Seperti sedang menata kata. Lalu suaramu keluar, pelan. “Apa kabar?”
Pertanyaan yang sederhana, tapi terdengar begitu aneh setelah semua ini.
“Aku… baik,” jawabku pelan. “Kamu?”
“Aku… nggak tahu,” katamu. Suara itu terdengar lebih lelah dari yang pernah kuduga. “Rasanya… rumah sepi banget.”
Aku menunduk. Ada rasa getir yang naik ke tenggorokan. “Rumah memang sepi, kalau orang-orang di dalamnya berhenti saling mendengarkan.”
Kau menarik napas. Seolah kalimatku menampar sesuatu di dalam dirimu. “Aku… kangen,” kau lanjut. “Aku rindu kamu di rumah.”
Aku memejamkan mata. Ada desir di dada. Bukan karena rindu yang sama, tapi karena aku sadar: kalimat itu sudah tak lagi cukup. Kau baru mengaku rindu setelah aku tak ada. Baru mencariku ketika rumah benar-benar kosong.
“Aku juga rindu,” kataku akhirnya, jujur pada diriku sendiri. “Tapi rindu saja tidak cukup membuatku mau kembali.”
Suara napasmu terdengar di ujung telepon. Panjang, berat. Lalu jeda panjang merambat di antara kami. Seolah kita berdiri di dua tebing, hanya dipisahkan jurang yang terlalu luas untuk dijembatani dengan kata-kata.
“Apakah kita masih punya kesempatan?” suaramu akhirnya pecah. “Aku ingin memperbaiki semuanya.”
Aku membuka mata, menatap bunga krisan di depanku. Kelopaknya berdiri tegak, seolah ingin mengingatkanku bahwa sesuatu yang rapuh pun bisa bertahan, jika dirawat tepat waktu.
Tapi waktumu merawatku sudah lama habis.
“Entahlah,” kataku, suara tercekat. “Aku tidak ingin memberikan jawaban hanya karena kita sama-sama takut sendiri.”
Kau tak membalas. Tapi aku tahu, di sana, di rumah yang dulu kita sebut tempat pulang, kau juga sedang belajar menerima bahwa percakapan ini tak akan pernah selesai.
Malam itu, kami bicara lama. Tentang anak kita, tentang pekerjaan, tentang masa lalu yang tak bisa kita ubah. Sesekali kau tertawa kecil, sesekali aku diam karena air mata menggenang di pelupuk.
Dan di antara jeda-jeda panjang, aku sadar: barangkali memang begini akhir sebuah cinta yang pernah besar. Bukan pertengkaran keras. Bukan pengkhianatan yang terbuka. Tapi percakapan-percakapan yang tak pernah menemukan titik.
“Aku masih mencintaimu,” kau berbisik di ujung telepon. Suara itu nyaris tak terdengar.
Aku menutup mata, mengelus dada yang berdenyut nyeri. “Aku juga,” bisikku. “Tapi kadang mencintai tidak cukup untuk bertahan.”
Di luar, hujan mulai turun, pelan. Seperti menirukan air mataku yang akhirnya jatuh diam-diam.
“Kita… akan bicara lagi?” tanyamu, suaramu lirih, seakan takut jawaban yang akan kau dengar.
Aku tak segera menjawab. Aku tahu, apapun yang kukatakan malam ini tidak akan menyelesaikan apa-apa. Percakapan kita tak akan pernah tuntas, tak akan pernah sempurna.
Tapi mungkin itu tak apa-apa. Mungkin memang ada kisah yang hanya bisa kita selesaikan dengan keberanian menerima: kita sama-sama terluka, sama-sama merindu, tapi tak lagi tahu bagaimana saling menggenggam.
“Ya,” akhirnya aku berbisik, menelan perih. “Kita akan bicara lagi. Tapi bukan malam ini.”
Hening.
“Terima kasih sudah menjawab,” katamu pelan. Lalu sambungan terputus.
Aku menatap ponsel di tanganku. Layar hitam memantulkan bayang wajahku sendiri perempuan yang pernah berjanji tak akan pergi, kini duduk sendirian, mencoba berdamai dengan semua jawaban yang tak pernah sempat diucapkan.
Dan di malam itu, aku tahu: percakapan ini akan terus berlanjut dalam bentuk lain. Dalam doa. Dalam rindu. Dalam ingatan yang tak pernah sepenuhnya hilang. (*)
(Bersambung seri ke-19: Jeda yang Menyelamatkan)