SUDAH lama Indonesia menjadi pasar yang menggiurkan bagi film-film asing. Bioskop kita penuh dengan superhero berkostum dari Hollywood, drama menyentuh dari Korea, hingga horor menegangkan dari Jepang dan Thailand. Tapi satu hal yang kini harus mulai kita sadari dan rayakan adalah kenyataan bahwa film Indonesia tak lagi hanya menjadi penonton dalam kompetisi sinema dunia. Kita mulai tampil sebagai pemain. Bahkan, dalam beberapa aspek, sebagai pemain kunci.
Ketika film lokal seperti Jumbo menembus pasar Eropa, atau The Raid disambut hangat oleh Sundance, itu bukan sekadar prestasi insidental. Itu sinyal bahwa karya sinematik kita telah memiliki kualitas, nilai jual, dan daya ungkap yang bisa diterima oleh selera global. Dalam dunia perfilman internasional yang sangat kompetitif, di mana selera penonton begitu beragam dan ekspektasi begitu tinggi, fakta bahwa film Indonesia bisa tampil dan dipuji adalah capaian luar biasa.
Mari kita lihat beberapa karya monumental yang membuka pintu Indonesia ke dunia:
Jumbo (2025): Gerbang Baru Animasi Asia Tenggara
Film ini bukan sekadar animasi anak-anak. Ia adalah proyek kolosal yang melibatkan lebih dari 400 kreator lokal, memadukan teknologi, cerita, dan kekayaan budaya Nusantara. Dengan capaian sebagai animasi Asia Tenggara terlaris sepanjang masa, bahkan menyalip Mechamato dari Malaysia, Jumbo menunjukkan bahwa kita bukan hanya bisa membuat, tetapi bisa menjual dengan kelas dunia.
Dampaknya? Industri animasi Indonesia kini lebih diperhitungkan. Studio-studio animasi lokal mulai dilirik sebagai partner outsourcing oleh perusahaan luar negeri. Sekolah-sekolah animasi bertumbuh. Dan yang paling penting: anak muda Indonesia bisa melihat bahwa berkarier di industri kreatif adalah jalan masa depan yang nyata.
Pengabdi Setan (2017): Horor yang Akarnya Lokal, Gaungnya Global
Disutradarai Joko Anwar, film ini menjadi bukti bahwa horor Indonesia tak perlu meniru gaya Barat. Dengan pendekatan atmosferik, sinematografi mencekam, dan narasi yang dekat dengan tradisi spiritual Asia, Pengabdi Setan sukses memikat pasar internasional. Tayang di lebih dari 40 negara dan masuk TIFF—Toronto International Film Festival—film ini tak hanya diterima, tapi diapresiasi.
Dampaknya? Indonesia kini jadi salah satu negara yang dilirik dalam proyek co-production genre horor. Banyak rumah produksi global menyadari bahwa pasar Asia memiliki daya tarik tersendiri dalam menciptakan “horor dengan rasa spiritualitas”. Dan Indonesia, dengan kekayaan kisah mistik dan budaya lisan, punya modal besar untuk terus mengisi ceruk ini.
The Raid (2011): Aksi Tanpa Basa-Basi yang Mengubah Peta
Sebelum dirilis di Indonesia, hak edar The Raid sudah dibeli oleh pasar luar. Film ini tak banyak dialog, tapi penuh energi dan koreografi pertarungan yang presisi dan brutal. Ini membuat dunia menoleh ke Indonesia—bukan hanya karena ceritanya, tapi karena pendekatannya yang “sinematik-otentik”.
Dampaknya? Industri perfilman laga lokal langsung naik kelas. Nama-nama seperti Iko Uwais, Yayan Ruhian, hingga Joe Taslim menjadi aktor internasional. Bahkan Hollywood belajar dari The Raid, yang pengaruh gayanya bisa dilihat dalam John Wick dan Extraction. Indonesia kini dikenal sebagai negara dengan koreografi bela diri paling orisinal.
Marlina si Pembunuh dalam Empat Babak (2017): Feminisme yang Eksotis dan Kuat
Latar Sumba yang kering dan eksotis, narasi feminis yang kuat, serta visual yang indah membuat film ini tampil mencolok di Cannes Film Festival. Gaya “satay western”—genre unik yang menggabungkan western klasik dengan citarasa lokal—membuat banyak kritikus menyebut film ini sebagai bukti bahwa Indonesia bisa “bercerita dengan bahasa sinema global tanpa kehilangan ke-Indonesia-annya”.
Dampaknya? Film kita mulai berani tampil eksperimental, tidak melulu komedi atau drama pasar. Pembuat film independen mulai percaya diri menyodorkan gagasan-gagasan baru yang segar, berani, dan relevan.
Kucumbu Tubuh Indahku (2018): Isu Sensitif yang Dibalut Artistik
Film ini mengangkat tema identitas tubuh, seni, dan kultur Jawa, dengan pendekatan puitis dan kontemplatif. Karya Garin Nugroho ini diakui dunia lewat berbagai penghargaan, termasuk dari Asia Pacific Screen Awards.
Dampaknya? Film lokal tak lagi takut menyentuh tema-tema yang dulu dianggap tabu. Isu LGBTQ+, kebebasan ekspresi, hingga sejarah kelam masa lalu mulai diangkat dengan pendekatan estetis. Bukan untuk sensasi, tapi untuk refleksi.
Mengapa Dunia Butuh Cerita Kita?
Dunia tengah mengalami kejenuhan akan narasi-narasi lama yang berulang. Dalam kondisi seperti ini, Indonesia memiliki peluang emas untuk hadir menawarkan warna baru. Negara ini menyimpan ribuan kisah rakyat, mitos, dan sejarah yang belum sepenuhnya tergali. Kekayaan budaya yang otentik dan eksotik ini menjadi daya tarik tersendiri bagi penonton global yang haus akan perspektif segar, berbeda dari dominasi cerita-cerita Barat yang sudah mapan.
Peluang itu semakin terbuka berkat perkembangan industri film nasional. Infrastruktur perfilman Indonesia terus menunjukkan perbaikan, ditandai dengan kehadiran lembaga pendanaan seperti Dana Perfilman, dukungan regulasi dari pemerintah, serta kerja sama dengan platform over-the-top (OTT) internasional seperti Netflix dan Amazon Prime. Akses distribusi pun tak lagi terbatas pada bioskop. Film-film Indonesia kini memiliki jalur ke berbagai medium: dari layar lebar hingga serial dan dokumenter yang menjangkau dunia lewat kanal digital.
Generasi baru sineas Indonesia juga tumbuh dengan kesiapan yang berbeda. Mereka tidak hanya mempelajari aspek teknis pembuatan film, tetapi juga memahami bagaimana menjual cerita secara global. Mereka akrab dengan pitch deck, visual treatment, hingga strategi distribusi yang efektif. Lahir dalam era digital dan globalisasi, para pembuat film muda ini punya visi dan kompetensi untuk bermain di panggung internasional.
Perubahan perilaku konsumsi pasca-pandemi juga menjadi pintu pembuka. Distribusi film tak lagi bergantung pada festival-festival besar. Platform digital memungkinkan film lokal langsung dirilis dan dipromosikan secara luas. Keberhasilan film seperti Nussa, Ali & Ratu Ratu Queens, dan Yuni membuktikan bahwa cerita Indonesia bisa diterima, bahkan diapresiasi oleh penonton lintas negara.
Selain itu, prospek kolaborasi internasional semakin terbuka. Indonesia berpotensi menjadi pusat produksi bersama (co-production) yang strategis. Banyak negara seperti Jepang, Korea, dan sejumlah negara Eropa tengah melirik Asia Tenggara sebagai mitra produksi. Dengan keunggulan biaya yang kompetitif dan keberagaman lokasi yang memesona, Indonesia memiliki peluang besar menjadi destinasi produksi film global.
Film bukan hanya alat hiburan. Ia adalah medium diplomasi budaya, alat pendidikan emosi, dan jendela peradaban. Ketika film Indonesia tayang di festival dunia, itu bukan hanya karya sineas, tapi juga wajah bangsa yang sedang diperkenalkan.
Mari kita dorong terus karya anak bangsa agar tak hanya ditonton oleh mata sendiri, tapi juga disambut hangat oleh mata dunia. (*)