FENOMENA organisai masyarakat (ormas) yang berperilaku seperti preman jalanan bukanlah sesuatu yang baru di negeri ini. Namun dalam beberapa tahun terakhir gejala tersebut semakin nyata dan membahayakan. Mereka hadir dengan simbol-simbol kebesaran, atribut seragam, dan jargon moralitas, namun dalam praktiknya memeras, mengintimidasi, bahkan bertindak seolah-olah mereka aparat sah negara.
Pemerintah melalui beberapa pejabatnya baru-baru ini menyampaikan bahwa ormas preman akan ditertibkan dengan cara “menyesakkan sakunya.” Pernyataan ini secara retoris terdengar tegas, bahwa negara tak akan membiarkan mereka bebas bergerak tanpa konsekuensi ekonomi. Namun pendekatan ini menyimpan tanda tanya besar. Apakah cukup hanya dengan menyesakkan saku? Bagaimana dengan aspek hukum, rasa keadilan publik, serta trauma sosial yang ditimbulkan ormas-ormas tersebut terhadap masyarakat kecil?
Ketika Ormas Menjadi Teror Sosial
Banyak masyarakat kelas bawah, mulai dari pedagang kaki lima, pengusaha warung, hingga sopir angkot, telah lama hidup dalam bayang-bayang ketakutan. Mereka dipalak atas nama keamanan wilayah, dipaksa menyetor uang iuran atas nama kontribusi warga, atau ditekan untuk tunduk pada pengaruh ormas yang katanya menjaga ketertiban. Pada kenyataannya, mereka justru menciptakan kekacauan yang sistematis.
Bayangkan seorang ibu penjual nasi uduk yang harus membayar jasa pengamanan setiap hari. Atau pemilik bengkel kecil yang setiap minggu diintimidasi agar menyumbang untuk kegiatan organisasi tertentu. Bukankah ini bentuk pungutan liar? Namun banyak dari mereka memilih diam, karena bersuara berarti mengambil risiko. Usahanya bisa dirusak, anaknya bisa diteror, atau bahkan nyawanya bisa melayang.
Dalam konteks ini, negara tidak boleh absen. Apalagi jika negara justru terlihat gamang atau kompromistis. Penegakan hukum harus bersifat menyeluruh—bukan hanya kepada individu pelaku, tetapi juga struktur organisasinya jika terbukti menjadi mesin kekerasan sosial.
Menakar Efektivitas ‘Menyesakkan Saku’
Kata-kata seperti menyesakkan saku memang menarik secara politis dan bisa viral di media sosial. Namun dari sisi kebijakan publik, pendekatan ini sangat rapuh bila tidak disertai penegakan hukum yang menyeluruh. Apa arti menyesakkan saku? Apakah ini berarti denda? Pajak lebih tinggi? Pemblokiran dana dari sponsor? Semua kemungkinan itu bisa dieksplorasi, tetapi tidak akan efektif jika aktor-aktor ormas ini tetap merasa kebal hukum.
Premanisme tidak tumbuh di ruang hampa. Ia subur karena adanya pembiaran. Ada kedekatan dengan oknum elite politik, ada celah hukum yang dimanfaatkan, dan ada aparat yang menutup mata karena tekanan atau keuntungan pribadi. Jika pendekatannya hanya soal ekonomi, maka ormas-ormas ini cukup mencari sumber uang baru—entah dari sponsor gelap, backing politik, atau praktik ilegal lainnya.
Yang paling penting dan sering dilupakan dalam diskursus soal penertiban ormas preman adalah korban dari praktik premanisme itu sendiri. Mereka tidak memiliki panggung bicara, tidak punya buzzer, dan tidak disorot kamera media. Mereka hidup dalam ketakutan sunyi, di lorong-lorong pasar, terminal, pinggir jalan, hingga kampung-kampung miskin kota.
Negara mesti berpihak pada mereka—dengan kebijakan yang nyata, bukan sekadar pernyataan keras yang tidak menjejak di lapangan. Kepolisian harus bertindak tanpa pandang bulu. Lembaga hukum harus berani membongkar jaringan yang membekingi mereka. Dan masyarakat sipil harus dilibatkan agar memiliki saluran pengaduan yang aman, cepat, dan ditindaklanjuti.
Tegakkan Hukum, Bukan Hanya Retorika
Jangan sampai frasa “joko sembung bawa golok”, yang secara sarkastik berarti tindakan yang tidak nyambung dengan ucapan—menjadi gambaran cara negara menangani masalah ini. Terlalu banyak masalah sosial di negeri ini yang ditanggapi dengan retorika berapi-api, namun tanpa tindakan konkret dan menyeluruh.
Menertibkan ormas preman bukan sekadar soal menekan pendapatan mereka. Ini soal keberanian negara dalam menjaga wibawa hukum, melindungi warga kecil, dan membersihkan ruang publik dari rasa takut yang diproduksi oleh mereka yang mengaku “organisasi masyarakat” tapi hidup dengan cara preman.
Kalau memang negara hadir, buktikan dengan ketegasan dan keberpihakan pada yang lemah. Jangan hanya menyesakkan saku, tapi tegakkan hukum seadil-adilnya. (*)