HARI Buruh Internasional 2025 di Monas menjadi tonggak sejarah baru ketika ribuan buruh, dengan satu suara menggemakan satu nama, Marsinah. Nama buruh perempuan yang dibunuh secara keji pada 1993 itu menyeruak, menuntut keadilan yang telah terlalu lama tertunda. Dan di tengah gema itu, Presiden Prabowo Subianto, untuk pertama kalinya dalam kapasitasnya sebagai kepala negara, merespons dengan pernyataan yang layak dicatat, “Kalau semua komponen setuju, Marsinah bisa jadi Pahlawan Nasional.”
Kalimat itu, meski diplomatis, adalah sinyal politik yang penting. Ia membuka ruang yang selama tiga dekade nyaris terkunci rapat, yaitu pengakuan negara terhadap sejarah gelap represi buruh. Namun pernyataan itu juga mengandung syarat jika semua komponen setuju. Artinya, tanggung jawab kini berbalik ke pundak gerakan buruh, aktivis, dan masyarakat sipil untuk menyatukan suara dan menembus lorong-lorong birokrasi yang selama ini abai.
Marsinah bukan hanya simbol keteguhan, tapi juga luka yang masih basah. Perempuan muda dari PT Catur Putra Surya di Sidoarjo itu bukanlah tokoh elite, bukan politisi, bukan pemegang kekuasaan. Ia hanyalah buruh pabrik, salah satu dari jutaan rakyat kecil yang memilih melawan ketidakadilan ketimbang tunduk pada ketakutan. Tapi justru karena itulah ia layak dikenang—karena keberaniannya menantang kuasa dengan tubuh dan suara yang dimilikinya. Ia dibunuh karena suaranya terlalu nyaring bagi telinga kekuasaan yang otoriter.
Lalu mengapa Marsinah belum juga menjadi Pahlawan Nasional? Jawabannya terletak pada ketakutan negara terhadap sejarahnya sendiri. Mengakui Marsinah berarti mengakui bahwa negara—secara langsung atau melalui aparatnya—pernah menjadi pelaku kekerasan terhadap rakyat yang menuntut hak. Maka penghormatan kepada Marsinah bukan hanya soal administratif, tetapi soal keberanian moral untuk berdamai dengan sejarah yang kelam.
Respon Presiden Prabowo patut diapresiasi, tetapi jangan dirayakan terlalu cepat. Ia baru membuka pintu, belum melangkah masuk. Untuk menjadikan Marsinah Pahlawan Nasional, perlu keberanian lebih dari sekadar pernyataan di podium. Diperlukan pembentukan tim kajian independen, keterlibatan Kementerian Sosial, Sekretariat Negara, dan tentu saja, tekanan publik yang konsisten. Bola memang kini ada di tangan gerakan buruh dan masyarakat sipil, tapi bola itu juga harus dipastikan tidak terhenti di tengah jalan.
Dalam konteks ini, seruan tokoh-tokoh seperti Ratih Dewanti dan Dr. Eko Wahyudi menjadi sangat relevan. Pengakuan terhadap Marsinah bukanlah penghormatan simbolik semata. Ia adalah koreksi atas narasi sejarah yang selama ini dibangun dari perspektif kekuasaan, bukan dari perjuangan rakyat. Ia adalah cara kita menulis ulang siapa yang layak dikenang, dan atas dasar apa kita memberi gelar Pahlawan.
Peringatan May Day 2025 telah memberi kita harapan baru. Namun harapan itu hanya akan menjadi kenyataan jika diikuti gerak kolektif dan keberanian untuk terus menuntut. Jangan biarkan nama Marsinah hanya bergema sekali dalam setahun di jalanan. Ia harus hidup dalam buku sejarah, dalam pendidikan generasi mendatang, dan dalam keputusan politik yang berpihak pada keadilan.
Kini, saat Presiden sudah membuka peluang, saatnya negara menebus utangnya kepada sejarah. Marsinah bukan hanya milik buruh, tapi milik bangsa ini—sebagai pengingat bahwa keberanian seorang perempuan muda bisa menjadi cermin nurani sebuah negara.