BANYAK orang melihat penampakan sehat, semata pada penampilan fisik tubuh atau raga semata. Mestinya harus ditimbang pula unsur pendampingnya, yakni situasi dan kondisi jiwa dan sosialnya. Justru penyebutan jiwa mendahului raga, kemudian menyusul aspek sosial.
Lingkup kesehatan yang meliputi jiwa, raga dan sosial menunjukkan betapa derajat kesehatan itu saling terkait antara catatan medis fisik, psikis dan interaksi sosial di dalamnya.
Kita diajari bahwa di tubuh yang sehat, tumbuhlah jiwa yang sehat pula. Apakah itu tidak sebaliknya atau justru penyehatan raga dan jiwa itu merupakan upaya serentak bersama di atas basis sosial yang kondusif?
Selanjutnya, di mana status dan peran agama yang salah pilar akidahnya disebut takdir. Kuasa atas takdir itu, tentu berada pada Tuhan Yang Maha Esa.
Relasi apa yang terjadi antara takdir dan upaya manusia dengan capaian keilmuan, khususnya Ilmu Kesehatan dan Kedokteran, Farmasi, Teknologi pendukungnya.
Bagi penganut takdir berbasis Jabariah yang itu merupakan otoritas paksaan Tuhan dan tak ada ruang rasionalisme di sana, maka upaya dan fakta serta opini keilmuan apapun -khususnya kesehatan – adalah tertolak.
Bagi penganut qadariyah yang menempatkan akal sebagai karunia Tuhan yang butuh optimalisasi, pintu ilmu pengetahuan dan teknologi diterima. Di sini kebudayaan bergerak dan pintu peradaban terbuka.
Khusus mengenai pembahasan lansia, baik preventif, curatif maupun rehabilitatif, bagi penganut Jabariah dalam pengertian dan praktek beragamanya, sudah bisa diduga: Qadarullah. Itu sudah digariskan Tuhan, manungsa mung sadermo ngelakoni. Spirit fatalisme nampak mendominasi.
Tak ada penghargaan sedikitpun atas prestasi keilmuan dan teknologi yang mendukungnya. Mau sehat atau sakit itu tergantung kehendak Tuhan…dan seterusnya.
Sebaliknya, bagi kalam Qadariyah, status dan peran manusia dan makhluk sealam semesta ini merupakan karunia Tuhan dan dimanatkan-Nya kepada manusia untuk mewakili pesan Tuhan dengan memikirkan agar mengerti , mencermati, meneliti dan beraksi, sehingga mampu memenuhi tuntutan kehidupan, antara lain kehidupan yang sehat jiwa, raga dan sosial.
Oleh karena menghargai upaya kemanusiaan di jalan Tuhan, terbentuklah kebudayaan dari zaman ke zaman sebagai peradaban. Pada lingkup kalam Qadariyah inilah, ditolak visi kepasrahan ala tradisi jumud yang fatalistik itu.
Jadi, bergeraklah tausiyah apa itu sehat, bagaimana mengusahakan dalam segala bentuk dan manifestasinya. Pada proses penegakan hidup yang sehat buat semua orang, di wilayah negara tentu berikutnya memerlukan politik kesehatan, dari pelayanan kesehatan termasuk pertanggungan asuransi bagi semua orang.
Jangan gantungkan kesehatan kita kepada upaya penyembuhan, tetapi kedepankan pada pencegahan tanpa melupakan upaya rehabilitasi pada kelanjutannya.
“Jangan pula menyerahkan kesehatan kepada penjajah global yang ingin mengeruk profit dengan cara menyebarkan penyakit di negara yang disasarnya.”
Jangan pula menyerahkan kesehatan kepada penjajah global yang ingin mengeruk profit dengan cara menyebarkan penyakit di negara yang disasarnya.
Terakhir, jangan menganggap BPJS, Senam dan Olahraga apapun serta jutaan doa akan dan telah menyelesaikan masalah kesehatan -khususnya lansia- jika jiwa kita dibayangi kecemasan, resah dan galau tak berkesudahan, suka dilayani ketimbang mengerjakan sendiri, suka membenci ketimbang mencurahkan kasih, suka menyendiri ketimbang menyambangi teman.
Sayangi generasi muda dan senyumlah, bahwa besok matahari masih menemani hari…itu langkah awal menjadi lansia yang tetap berguna. (*)