Kamis, Juli 10, 2025
No menu items!

Dua Luka dalam Satu Atap (10): Perpisahan yang Tak Pernah Diumumkan

Must Read

ADA perpisahan yang disertai air mata, tangisan, dan pintu yang dibanting. Tapi ada juga perpisahan yang tak pernah diumumkan—yang datang diam-diam, bersembunyi di balik kebiasaan, menunggu saat yang tepat untuk menjelma jurang.

Dan itulah perpisahan kita.

Pagi itu, kau masih duduk di meja makan. Wajahmu letih, matamu bengkak, entah karena lelah atau karena semalaman kau bergulat dengan sesuatu yang tak ingin kau bagi. Di hadapanku, kau seperti patung rapuh yang siap runtuh.

Aku menyiapkan teh hangat, meletakkannya pelan di meja. Kau hanya menatap gelas itu tanpa minat. Sementara aku berdiri di seberang meja, merasakan jarak yang kian menganga di antara kita.

“Aku mau bicara,” kataku, dengan suara yang lebih tenang daripada hatiku.

Kau mendongak perlahan. Tatapan itu dulu membuatku merasa aman. Kini, hanya membuatku merasa asing.

“Apa yang mau kau bicarakan?” suaramu serak.

“Apa kita masih mau terus begini?”

Pertanyaan itu menggantung di udara, lama, seperti kabut yang menolak sirna. Kau menarik napas, menunduk lagi.

“Aku tak tahu,” jawabmu, pelan, jujur, menyesakkan.

“Aku lelah,” bisikku, hampir seperti gumaman yang tak ingin kau dengar. “Aku lelah merasa sendirian.”

“Aku juga lelah,” balasmu, dan kalimat itu entah kenapa lebih menyakitkan daripada pengakuan pengkhianatanmu dulu. Karena ternyata, yang patah bukan hanya aku. Kau pun remuk, meski tak pernah mau mengakuinya.

Kita duduk lama dalam diam. Tak ada air mata, tak ada teriakan. Hanya kesunyian yang menggigit tulang. Barangkali beginilah caranya cinta mati ia tak menimbulkan dentuman, hanya menutup mata sendiri dan berhenti bernafas.

Siang itu kau pamit bekerja. Tapi sebelum melangkah ke pintu, kau berhenti. Menoleh padaku dengan tatapan yang tak pernah kutemukan lagi dalam beberapa bulan terakhir. Ada semacam permintaan maaf yang tak sempat dijadikan kata.

Aku mengangguk pelan. Bukan karena aku memaafkan, tapi karena aku tak punya tenaga untuk membenci.

Setelah kau pergi, aku duduk di sudut ruang tamu, memandangi pintu yang masih berayun sedikit. Aku sadar, perpisahan kita tidak akan diumumkan dalam kata. Ia sudah lama datang, menyusup lewat kebiasaan kecil yang perlahan berhenti kita lakukan.

Seperti menyiapkan makan malam untuk dua orang.

Seperti menanyakan kabar sebelum tidur.

Seperti saling mendoakan dalam diam.

Aku merapikan lemari, bukan karena akan pergi, tapi karena aku butuh alasan agar tangan ini sibuk. Jemariku menyentuh setumpuk kemeja yang dulu kau pakai ke kantor. Masih ada aroma sabun cuci yang familier. Aroma yang dulu menenangkan, kini lebih mirip pengingat bahwa tak ada yang abadi.

Di rak paling bawah, aku menemukan kotak kayu kecil. Di dalamnya, sepucuk surat yang pernah kutulis tapi tak pernah kuberi. Surat yang kutulis malam saat kau pulang terlalu larut dengan tatapan kosong.

Kutelusuri baris demi baris tulisan tanganku sendiri:

Aku ingin kita baik-baik saja, tapi aku tak tahu caranya. Kau terlalu jauh untuk kupanggil pulang. Aku terlalu hancur untuk mengajukan lagi satu pertanyaan yang mungkin tak akan kau jawab.

Surat itu kuraih pelan, kubawa ke meja makan, kubiarkan terbuka. Aku tak yakin kau akan membacanya. Tapi setidaknya, ada sesuatu yang kutinggalkan, selain kesunyian.

Menjelang malam, aku membuatkan makan malam. Bukan karena kau memintanya, tapi karena rutinitas adalah satu-satunya yang tersisa untuk kujaga. Ketika kau pulang, kau hanya memandang meja makan itu sebentar sebelum berjalan ke kamar mandi.

Aku duduk di kursi, menatap punggungmu. Ada kalimat yang ingin kuteriakkan: Apakah kau masih mencintaiku walau sedikit? Tapi yang keluar hanya napas panjang yang terasa berat di dada.

Ketika akhirnya kau keluar, kau tak menoleh padaku. Kau berjalan menuju kamar, menutup pintu dengan suara pelan.

Dan di situlah aku paham, perpisahan kita sudah lengkap. Tak perlu pernyataan. Tak perlu pertengkaran. Hanya dua orang yang menyerah tanpa mengaku kalah.

Hujan turun lagi malam itu. Rintiknya menimpa genteng, menimpa jendela, menimpa hati yang sejak lama beku.

Aku duduk di kursi tua, menatap lampu temaram, dan untuk pertama kalinya sejak lama, aku merasa tak perlu lagi menunggu penjelasan. Karena aku sudah tahu jawabannya.

Perpisahan kita adalah perpisahan yang tak akan pernah diumumkan.

(Bersambung seri ke-11: Satu-Satunya Alasan Aku Bertahan)

Mengapa Jumlah Siswa Sekolah Muhammadiyah Terus Merosot?

FENOMENA sepinya pendaftar di sekolah-sekolah Muhammadiyah terasa di mana-mana. Sebuah ironi ketika pucuk pimpinan Kementerian Pendidikan Dasar sedang dijabat...

More Articles Like This