JAKARTAMU.COM | Republik Indonesia lengkap sudah kemerdekaannya pada 17 Agustus 1950 dalam lingkup hukum internasional. Pengakuan atau penyerahan kedaulatan berdasar Konperensi Meja Bundar (KMB) Den Haag dimulai sejak 23 Agustus 1949 dan selesai pada 2 November 1949 berdasar Persetujuan Van Roijen – Mohammad Roem.
Sebagaimana diketahui, bahwa Persetujuan Roem-Roijen yang ditandatangani pada 7 Mei 1949 adalah mewujudkan eksistensi RI kembali ke ibukota Jogjakarta pada 6 Juli 1949.
Persetujuan itu dilatarbelakangi Serangan Umum 1 Maret 1949 atas inisiatif Sri Sultan Hamengkuwubowo IX dan Jenderal Sudirman yang Komandan Serangan Umumnya dipercayakan kepada Letkol Suharto (kemudian menjadi Presiden RI kedua, 1968-1998).
Baca juga: Mengukur Tingkat Partisipasi Warga di Pilkada DKI Jakarta
Putusan KMB dieksekusi pada 27 Desember 1949 dengan Piagam Penyerahan Kedaulatan dari Persetujuan KMB, pasal 1 No. 1: “Bahwa Kerajaan Belanda dengan tidak bersyarat dan dengan tidak dapat dibatalkan lagi (onherroepelijk) menyerahkan kedaulatan penuh atas Indonesia kepada Republik Indonesia Serikat dan dengan demikian mengakui Republik Indonesia Serikat sebagai negara yang merdeka dan berdaulat”.
Sejak 27 Desember 1949 itu, Indonesia dengan resmi bernama Republik Indonesia Serikat. Hanya berlangsung tujuh bulan. Pada tanggal 17 Agustus 1950, namanya menjadi kembali Republik Indonesia sebagai Negara Kesatuan.
Mohammad Roem membuka jalan perundingan KMB dengan mengembalikan ibukota dan para pemimpin RI ke Jogjakarta. Mohammad Natsir dengan Mosi Integralnya menggalang persatuan politik di parlemen (KNIP: Komite Nasional Indonesia Pusat) sejak Januari sampai dengan Juli 1949, rontoklah Negara Pasundan, Jawa Tengah, Jawa Timur dan terakhir Negara Indonesia Timur kembali ke pangkuan RI pada 17 Agustus 1950.
Baik Mohammad Roem maupun Mohammad Natsir adalah Pimpinan Pusat Partai Politik Islam Indonesia MASYUMI yang masing-masing kala itu menjabat sebagai Menteri Negara dan Menteri Penerangan RI pada Kabinet Hatta 2, pasca dihancurkannya Peristiwa Madiun/PKI September 1948.
Baca juga: Selamat Jalan Pak Jokowi dengan Damai dan Sejahtera
Dua peristiwa bersejarah penyerahan/pengakuan kedaulatan RI berlangsung serentak di kedua kota yakni Amsterdam dan Jakarta pada 27 Desember 1949.
Di Burgerzaal Amsterdam, Ratu Juliana melakukan penyerahan kedaulatan kepada delegasi Republik Indonesia Serikat yang diketuai Mohammad Hatta.
Di Jakarta penyerahan dilakukan oleh Wakil Tinggi Mahkota Kerajaan Belanda WTM Lovink kepada Deputi RIS yang diketuai Sri Sultan Hamengkubuwono IX. Kepulangan WTM Lovink diantar oleh Sri Sultan HB IX dan Mohammad Roem.
Kilas balik, sebelum peristiwa bersejarah 27 Desember 1949 itu, telah berlangsung Perjanjian Linggarjati diparaf 15 November 1946 dan ditandatangani 25 Maret 1947 namun dibatalkan sepihak oleh Belanda pada 21 Juli 1947 dengan Agresi militer pertama pada Juli 1947 itu juga
Selanjutnya diadakan Perjanjian Renville yang ditandatangani pada 17 Januari 1948, namun lagi-lagi dibatalkan oleh Belanda dengan agresi militer kedua pada 19 Desember 1948. Presiden dan Wakil Presiden RI ditangkap dan diasingkan ke Bangka (sebelumnya di Parapat Sumatera Utara beberapa hari).
Baca juga: Kesalehan Politik Memilih Pemimpin
Sesudah agresi militer kedua inilah, sikap dunia internasional khususnya Amerika Serikat, menghendaki sengketa Indonesia – Belanda dilakukan dengan cara damai.
Bagaimanapun juga, peran diplomasi harus diakui selalu membersamai perjuangan bersenjata: Saling melengkapi.
Sejak Juli 1947, selepas agresi militer pertama oleh Belanda yang ingin kembali menjajah Indonesia, Dewan Keamanan PBB tidak tinggal diam berkat perjuangan para diplomat kita yang dipimpin oleh Syahrir dengan para anggota Agus Salim, LN Palar, Sumitro Djojohadikusumo (ayahanda dari Presiden Prabowo Subianto), Sujatmoko dan Sudarpo Sastrosatomo.
Dewan Keamanan PBB melahirkan sebuah Panitia Jasa Baik yang beranggotakan Belgia mewakili Belanda dan Australia mewakili Indonesia.
RI secara de facto telah diakui oleh Inggris, Amerika Serikat, India dan Australia sedangkan Liga Arab (Mesir, Syria dan Irak) telah mengakui de facto dan de jure sejak November 1946.
Singkatnya, sampai berakhirnya sengketa Indonesia – Belanda dengan dilakukannya penyerahan/pengakuan kedaulatan pada 27 Desember 1949, memakan waktu lebih kurang 3,5 tahun. Dewan Keamanan PBB mengadakan sidang tentang sengketa ini lebih dari 90 kali persidangan.
Kesejarahan diplomasi di dunia internasional ingin menunjukkan bahwa peran diplomasi ketika memperjuangkan kemerdekaan RI itu nyata, di samping peran perjuangan bersenjata.
Itulah kiranya, 27 Desember 1949 terbukalah pengakuan dejure yang membanjiri eksistensi kedaulatan RI dalam kemerdekaannya mencapai cita-cita: Berdaulat, melindungi seluruh Tanah air dan bangsa Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut serta menciptakan perdamaian abadi berdasarkan keadilan dan perdamaian abadi dengan tetap berpegang teguh pada Pancasila.
Baca juga: Fatahilah sang Pemenang (3): Dakwah Sunan Kalijaga di Tengah Ancaman Portugis