Sabtu, Juli 26, 2025
No menu items!

Beras Oplosan dan Timpangnya Perlindungan Konsumen

Must Read

PUSAT distribusi beras Jakarta mulai dibangun pada 1972. Gagasan ini berasal dari Gubernur DKI Jakarta waktu itu, Ali Sadikin, untuk memperbaiki sistem pengadaan dan penyaluran beras. Pada tahun 1974, Pasar Induk Beras Cipinang resmi beroperasi berdasarkan SK Gubernur DKI. Pasar ini berfungsi sebagai pusat perdagangan beras, gula, terigu, dan palawija.

Dalam perjalanannya, Pasar Induk Beras Cipinang memegang peranan strategis sebagai pusat distribusi beras terbesar di Jakarta. Pasar ini bahkan menjadi acuan harga nasional dan pendukung utama ketahanan pangan untuk DKI Jakarta dan sekitarnya.

Food Station, BUMD Pemprov DKI Jakarta yang dulu bernama Pasar Induk Beras Cipinang. Foto: jakartamu.com/noor fajar asa

Kini, pasar tersebut dikenal dengan nama Food Station. Bagi para pedagang dan masyarakat sekitar, isu beras oplosan bukanlah kabar baru. Sudah lama terdengar praktik-praktik manipulatif, seperti mencuci beras lama dengan pemutih atau menyemprotkan aroma pandan agar terkesan segar dan berkualitas.

Kasus beras oplosan menambah panjang daftar beban konsumen di Indonesia. Dari keterlambatan pesawat, armada laut yang tak laik, hingga makanan harian seperti tahu dan ikan asin yang mengandung formalin. Bahkan ketika konsumen rela membayar lebih untuk beras premium, keasliannya pun masih dipertanyakan.

Beberapa hari lalu, Presiden Prabowo Subianto menyatakan kemarahannya terhadap praktik pengoplosan beras premium. Dalam peluncuran program Koperasi Desa Merah Putih di Klaten, Jawa Tengah (21 Juli 2025), ia menyebut tindakan itu sebagai bentuk pengkhianatan terhadap bangsa dan rakyat. Prabowo juga menegaskan telah menginstruksikan Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin dan Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo untuk menindak tegas pelaku.

Pantauan pada Jumat, 17 Juli 2025, menunjukkan bahwa beras premium masih tersedia di pasaran, terutama di sejumlah minimarket, dan belum ditarik dari peredaran.

Lonjakan permintaan beras dimanfaatkan oleh oknum untuk mencari untung dengan mencampur beras tak layak konsumsi ke dalam produk beras premium. Praktik ini jelas merugikan konsumen. Namun bagaimana pertanggungjawaban terhadap masyarakat yang sudah membeli dan mengonsumsi produk bermasalah ini?

Menurut Undang-Undang Perlindungan Konsumen (UUPK), pelaku usaha wajib memberikan ganti rugi atas barang yang tidak sesuai dengan yang dijanjikan. Tanggung jawab ini bersifat refresif—ditujukan untuk menyelesaikan sengketa setelah terjadi pelanggaran. Pasal 4 UUPK menegaskan bahwa konsumen berhak atas kompensasi, penggantian uang, atau penggantian barang yang setara.

Tindakan mengoplos beras tergolong tindak pidana dalam ranah perlindungan konsumen karena mengandung unsur penipuan dan membahayakan kesehatan. Pelaku yang melanggar Pasal 8 UUPK (memproduksi atau memperdagangkan barang yang tidak memenuhi standar) dapat dikenai sanksi pidana sesuai Pasal 62: penjara maksimal lima tahun atau denda hingga dua miliar rupiah. Tambahan sanksi lain bisa berupa perampasan barang, publikasi putusan hakim, penghentian usaha, hingga kewajiban membayar ganti rugi.

Namun muncul pertanyaan mendasar: apakah hukuman tersebut sepadan dengan kerugian besar yang dialami konsumen? Apakah ganti rugi, jika pun diberikan, bisa menebus dampak buruk bagi jutaan masyarakat yang dirugikan? Inilah jurang ketimpangan antara kejahatan konsumen dan perlindungan yang semestinya mereka terima. (*)

Saat Fakultas Hukum UGM Terusir dari Keraton Kasunanan

PADA 1 September 1945, dua kerajaan di Surakarta—Kasunanan Surakarta Hadiningrat di bawah Pakubuwono XII dan Kadipaten Mangkunegaran di bawah...

More Articles Like This