NEGARA akhirnya bersikap tegas terhadap lahan tidur. Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) menyatakan akan menyita tanah yang dibiarkan tidak digarap selama dua tahun. Langkah ini bukan semata tindakan administratif, tapi menyentuh akar keadilan sosial, bahkan mendapat pembenaran dari ajaran agama, termasuk Islam.
Islam tidak pernah memandang kepemilikan tanah sebagai hak absolut dan bebas dari pertanggungjawaban. Dalam pandangan Islam, tanah adalah amanah, bukan sekadar aset. Nabi Muhammad SAW bersabda, “Barang siapa menghidupkan tanah mati, maka tanah itu menjadi miliknya.” (HR Tirmidzi). Artinya, hak atas tanah muncul dari kerja, bukan dari kelalaian.
Dalam konteks negara modern, prinsip ini selaras dengan kebijakan negara yang memberi peringatan tiga kali kepada pemilik tanah yang tidak memanfaatkan lahannya, sebelum kemudian mencabut hak guna atas tanah tersebut. Tanah yang tidak produktif, menurut syariat, bisa dicabut kepemilikannya oleh penguasa demi kemaslahatan umum.
Kebijakan penyitaan tanah terlantar bukan hanya legal secara konstitusi, tapi juga etis dalam hukum Islam. Tanah yang dibiarkan tidur sementara jutaan rakyat tidak memiliki rumah atau lahan garapan adalah bentuk ketimpangan struktural. Islam memerangi ketimpangan ini dengan menekankan fungsi sosial atas harta.
Hal ini sejalan dengan prinsip maqashid syariah, yang mengutamakan kemaslahatan umum di atas kepentingan individual, terutama dalam hal kebutuhan dasar seperti tempat tinggal dan sumber penghidupan.
Wakil Menteri Perumahan dan Kawasan Permukiman, Fahri Hamzah, dengan tepat menyebut bahwa harga rumah melonjak bukan karena biaya konstruksi, tetapi karena harga tanah yang tidak masuk akal. Tanah menjadi komoditas spekulatif, bukan kebutuhan primer. Ini berlawanan dengan prinsip adl (keadilan) dalam Islam.
Kementerian ATR/BPN mencatat lebih dari 100 ribu hektare tanah nganggur telah disita dan diamankan oleh negara. Angka ini bukan sekadar statistik. Di tangan yang tepat, lahan tersebut bisa menjadi solusi bagi krisis perumahan rakyat, lahan pertanian, serta fasilitas publik lainnya.
Penting diingat, Islam tidak melarang kepemilikan pribadi. Namun, kepemilikan harus produktif, bermanfaat, dan tidak merampas hak orang lain. Tanah yang ditelantarkan bertahun-tahun sementara rakyat tidak punya tempat tinggal adalah bentuk kezaliman struktural yang harus ditindak.
Negara tak boleh ragu. Tanah-tanah tidur harus dibangunkan kembali demi keadilan sosial. Di sisi lain, distribusi hasil sitaan juga harus transparan, berpihak pada rakyat kecil, dan menghindari akumulasi baru di tangan oligarki.
Tanah bukan milik pribadi yang absolut, melainkan milik Allah yang diamanahkan kepada manusia untuk kemakmuran bersama. Jika negara mengambil alih tanah yang ditelantarkan, bukan hanya konstitusi yang dibela, tapi juga ajaran Islam ditegakkan. (*)