Rabu, Juli 30, 2025
No menu items!

Muram Gaza: Tanpa Makanan, Tanpa Air, Tanpa Jalan Keluar

Must Read

JAKARTAMU.COM | Tanah yang dulu menjadi rumah bagi dua juta jiwa itu kini hanya menyisakan reruntuhan dan tubuh-tubuh kurus yang tak mampu menangis lagi. Israel, dengan dalih keamanan dan perang melawan Hamas, telah menjadikan kelaparan sebagai senjata paling efektif dan paling keji.

Hingga pagi ini (30/7/2025) blokade total yang diberlakukan sejak Maret 2025 telah memutus aliran makanan, air, obat-obatan, dan harapan. Bayi-bayi Gaza kini lahir bukan untuk hidup, tapi untuk menderita. Menurut laporan IPC yang didukung PBB, ambang batas kelaparan telah tercapai di sebagian besar wilayah Gaza. Artinya: satu dari tiga orang tidak makan selama berhari-hari, dan anak-anak mati bukan karena peluru, tapi karena roti yang tak pernah datang.

Menurut data Kementerian Kesehatan Gaza, lebih dari 600.000 warga mengalami malnutrisi, termasuk 60.000 perempuan hamil. Setidaknya 101 orang telah meninggal akibat kelaparan sejak konflik memuncak, mayoritas adalah anak-anak.

Israel, yang mengontrol seluruh akses masuk ke Gaza, membantah bertanggung jawab atas krisis pangan. Militer Israel menyatakan bahwa mereka memprioritaskan pengiriman bantuan kemanusiaan, namun menuding PBB dan kelompok militan Hamas sebagai pihak yang menyalahgunakan distribusi bantuan. Tuduhan ini dibantah oleh para pejuang dan organisasi internasional.

Ironisnya, Israel tetap bersikeras bahwa mereka mengizinkan bantuan masuk. Faktanya, lebih dari 3.000 truk bantuan menumpuk di perbatasan, tak bisa masuk karena birokrasi dan peluru. Sistem distribusi bantuan yang dikendalikan oleh Gaza Humanitarian Foundation—lembaga yang didukung Israel—telah berubah menjadi arena maut. Lebih dari 800 warga tewas saat mencoba mendapatkan makanan. Bantuan bukan lagi harapan, tapi jebakan.

“Kami tidak hanya lapar. Kami sedang dimusnahkan,” ujar seorang ibu di Rafah, yang kehilangan dua anaknya karena tidak bisa memberi mereka air bersih.

Organisasi HAM internasional, termasuk Amnesty International dan Physicians for Human Rights Israel, kini menyebut tindakan Israel sebagai genosida. Tapi Israel tetap bergeming, seolah penderitaan dua juta manusia hanyalah statistik yang bisa dinegosiasikan.

Sementara itu, rumah sakit di Gaza berubah menjadi ruang tunggu kematian. Anak-anak yang kelaparan mengalami gagal jantung saat diberi makan kembali. Tubuh mereka tak mampu lagi menyerap nutrisi. Bahkan setelah makanan datang, kematian tetap menunggu di sudut ruangan.

PBB, dalam nada yang semakin putus asa, menyebut ini sebagai “pertunjukan horor” dan memperingatkan bahwa sistem kemanusiaan global sedang sekarat. Tapi dunia masih sibuk berdebat: siapa yang salah, siapa yang benar, siapa yang pantas disalahkan. Sementara itu, Gaza terus terkubur dalam sunyi dan lapar.

Ini seruan kepada Israel yang menjadikan lapar sebagai peluru. Peringatan kepada negara-negara Barat, yang memilih diam demi aliansi politik, juga kepada kita semua, yang terlalu sibuk dengan algoritma dan trending topic, hingga lupa bahwa di Gaza, anak-anak mati karena dunia memilih bungkam.

Meriahnya Agustusan Jangan Sampai Meracuni Anak

TAK terasa bulan Agustus tiba. Seperti biasanya, masyarakat akan merayakan Hari Kemerdekaan dengan berbagai lomba, termasuk perlombaan menyanyi atau...

More Articles Like This