Kamis, Juli 31, 2025
No menu items!

Babad Sepehi (7): Kanjeng Lintang dan Panah dari Kauman

Must Read

KAUMAN, pagi itu, seolah menyembunyikan denyut yang tak bisa ditebak dari luar. Suara kentongan subuh belum lama reda, namun gang-gang sempit sudah dipenuhi aroma wedang jahe dan bunyi lesung menumbuk beras. Di antara para ibu yang sibuk menyiapkan sarapan, seorang perempuan berkerudung panjang melangkah cepat menyusuri lorong kecil menuju surau lama. Namanya: Kanjeng Lintang.

Lintang bukan bangsawan. Ia cucu dari seorang penghulu tua yang wafat ketika keraton pertama kali diduduki pasukan Sepehi. Dalam ketenangan wajahnya, tersimpan kepedihan yang tak pernah selesai. Sejak kecil, ia sudah diajari mengaji, menari, dan melempar kerikil tepat sasaran. Sang kakek menyebut itu sebagai “ilmu menyentuh keadilan.”

Hari itu, Lintang melatih delapan gadis remaja dalam ruangan surau yang telah ditutup tirainya. Di luar, mereka dikenal sebagai kelompok sinden dan penari untuk acara sunatan atau panen padi. Tapi siapa sangka, di balik gerakan gemulai tangan itu, mereka menyelipkan teknik mengincar dan melepas panah kecil menggunakan alat dari bambu yang mereka sebut “cemeti sunyi.”

“Gerak tangan harus lentur. Tapi niat kalian harus setajam ujung panah,” bisik Lintang sambil memegang tangan muridnya, Ranti.

“Jika mereka datang, kami harus lari, Ndan?” tanya salah satu dari mereka.

“Bukan lari,” sahut Lintang. “Tapi menyamar. Tak semua perlawanan harus dengan darah. Kadang, kita menunggu waktu, dan sejarah yang akan mengalir pada saatnya.”

Lintang tahu, kekuatan bukan hanya di otot atau senjata, tapi dalam menyimpan rahasia dan mengatur ritme narasi. Ia sudah menyusup ke keraton tiga kali, dengan menyamar sebagai penari tamu dalam acara-acara yang diselenggarakan Sultan HB II untuk para pejabat Inggris. Di sana, ia mencatat siapa duduk di mana, siapa bicara dengan siapa, bahkan siapa yang terlalu banyak minum tuak dan membocorkan rencana.

Sekali waktu, ia mendengar percakapan Letnan Foster dengan seorang abdi Belanda.

“Kauman adalah sarang sunyi yang berbahaya. Ada perempuan yang memimpin di sana. Bukan biasa,” bisik Foster.

Sultan HB II mulai gelisah. Ia meminta agar Tumenggung Wangsasaputra mengatur razia di wilayah Kauman. Tapi Tumenggung ragu. Menyentuh Kauman bukan perkara mudah. Itu wilayah para ulama, dan setiap gerakan salah bisa menyulut murka rakyat.

Akhirnya, Foster menyusup sendiri. Ia berpura-pura menjadi pencatat naskah kuno dan meminta izin mengunjungi perpustakaan surau. Di sana, ia melihat Lintang mengajar anak-anak menyalin huruf Pegon dan membaca hikayat Panji. Ia mencatat, tak satu pun dari mereka bicara keras. Semuanya dijalani dalam diam dan penuh disiplin.

Namun Lintang lebih cerdik dari yang ia perkirakan. Ia menyadari penyusupan itu. Maka, sebelum Foster pulang, ia menyisipkan sebuah kalimat di halaman terakhir naskah yang diberikan Foster sebagai kenang-kenangan:

“Kau boleh hafal semua nama,

tapi tak akan tahu siapa yang memanahmu dari belakang bayang.”

Pesan itu membuat Foster gelisah. Tapi tak ada bukti apa-apa yang bisa ia ajukan. Kegelisahannya hanya menambah daftar paranoia di meja Raffles.

Sementara itu, gerakan rahasia terus tumbuh. Melalui Kanjeng Lintang, pesan-pesan dari pasamuan Watu Gilang disebarkan ke pesantren-pesantren kecil hingga ke perkampungan pembatik di luar kota. Lewat tembang dolanan, lewat motif lurik yang mencerminkan alur gerilya, lewat dongeng untuk anak-anak.

Kanjeng Lintang bukan sekadar simbol. Ia adalah jembatan antara narasi rakyat dan kenyataan penjajahan yang keji. Di balik kelembutan suaranya, tersimpan tekad baja yang tak mudah ditaklukkan. Ia sadar, perjuangan belum bisa dimenangkan dengan senjata. Tapi ia juga yakin: keris tak selalu lebih tajam dari kata-kata yang dirajut bersama cinta pada tanah.

Di tengah malam, ketika Kauman sudah senyap, Lintang kembali duduk di atas sajadahnya, membaca zikir dan doa dalam sunyi. Di dekatnya, tergantung busur kayu kecil, panah bambu runcing, dan secarik peta Jogja yang ditandai titik-titik merah.

Hari pembalasan belum tiba. Tapi lintasan panah sejarah sudah mulai dibidik. (*)

(Bersambung seri ke-8: Intrik di Balik Tembok Keraton)

Babad Sepehi (8): Intrik di Balik Tembok Keraton

ANGIN dari arah selatan membawa bau anyir pagi hari yang mencurigakan. Di balik tembok keraton, tepatnya di ruang tamu...

More Articles Like This