Oleh Andi Reza Rohadian Jurnalis tinggal di Jakarta
SWASEMBADA pangan dan penghapusan utang UMKM. Itulah dua program Presiden Prabowo Subianto yang paling bergaung di awal masa pemerintahannya. Rakyat pun menyambut program itu dengan suka cita.
Melalui swasembada pangan artinya pemerintah akan lebih memprioritaskan pangan dari dalam negeri, impor pun dibatasi. Akan halnya penghapusan utang UMKM ditujukan agar para pengusaha kecil dapat mengembangkan usaha mereka, yang pada akhirnya mendukung ketahanan pangan nasional.
Namun sejauh ini program itu baru sekadar mudah diucapkan. Di tengah upaya keras pemerintah mewujudkan program makan bergisi gratis, peternak sapi perah di Boyolali, Jawa Tengah dan Pasuruan, Jawa Timur, justru kesulitan memasarkan buah jerih payah mereka. Penyebabnya Industri Pengolahan Susu (IPS) membatasi kuota susu. Alhasil, Sabtu, 9 September 2024, para peternak membuang hasil perahan mereka.
Di Boyolali para peternak menggelar aksi simbolis mandi susu di Tugu Susu Tumpah yang dilanjutkan dengan membuangnya ke Tempat Pembuangan Akhir di kawasan Winong. Sedangkan di Pasuruan, para karyawan PT Nawasena Satya Perkasa, perusahaan pengepul susu, membuang hasil perahannya di area perkebunan. Tak tanggung-tanggung, susu yang dibuang peternak di Boyolali dan Pasutruan mencapai puluhan liter susu.
Biang kerok dari kebijakan kuota distribusi susu oleh IPS tak lain rekomendasi IMF tahun 1998 yang masih berlaku sampai sekarang. IMF meminta pemerintah Orde Baru mencabut regulasi yang menyebabkan tersendatnya penyerapan susu lokal oleh industri pengolahan. Sejak itu susu impor mengalir deras ke Indonesia. Pasokannya bahkan hingga 80 opersen. Padahal sebelum hadirnya beleid IMF, 60 persen kebutuhan susu nasional dipasok oleh peternak lokal.
Sudah begitu, IPS memang lebih suka menampung susu impor. Maklum harganya lebih murah 5 persen. Ini sejalan dengan adanya perjanjian perdagangan bebas antara Indonesia dengan Selandia Baru dan Australia.
Ditambah lagi IPS lebih memilih mengimpor susu bubuk ketimbang susu segar hasil peternak lokal. Akibatnya harga susu segar di tingkat peternak turun hingga sekitar Rp7.000 per liter dari harga yang idealnya mencapai Rp9.000 per liter.
Menindaklanjuti aksi buang susu itu Kementerian Pertanian (Kementan) berjanji untuk menurunkan angka impor susu, sembari memperkuat peran peternak domestik. Langkah kongkritnya Kementan akan kembali menghidupkan regulasi zaman Soeharto yang mewajibkan industri pengolahan susu untuk membeli hasil produksi peternak lokal.
Dalam rangka mewujudkan swasembada pangan, pemerintah berancang-ancang menggandeng pihak swasta untuk berinvestasi di bidang peternakan. Pemerintah juga membuka pintu bagi investasi asing dalam pengembangan sektor susu. Kementan telah menyiapkan 1,5 juta hektare lahan untuk investasi di sektor peternakan sapi perah dan pedaging.
Habis Susu Impor, Pajak Menghadang
Aman? Belum. Masalah yang dialami peternak bukan hanya kalah bersaing dengan susu impor. Mereka juga mempunyai persoalan dengan petugas pajak.
Alkisah, seorang peternak sapi perah sepuh asal Boyolali bernama Pramono berencana menutup usahanya. Ia pusing tujuh keliling lantaran sejak tanggal 1 Oktober rekening UD Pramono, nama unit bisnisnya, kena blokir oleh Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Pratama Boyolali. Menurut catatan kantor pajak, UMKM itu memiliki tunggakan pajak sebesar Rp670 juta.
Lelaki 67 tahun itu sangat dongkol lantaran merasa urusan pajaknya sudah beres. Selama ini usaha miliknya menjadi sandaran hidup 1.300 peternak. Selama puluhan tahun bisnis yang dijalankan Pramono berperan penting bagi peternak sapi perah dalam penyediaan pakan dan pembelian susu. Total produksi susunya mencapai 20.000 liter per hari.
Apa boleh buat, Pramono terpaksa menghentikan usahanya untuk sementara waktu. Kawatir mata pencahariannya mandek, Senin 28 Oktober silam, ratusan peternak sapi dari lima kecamatan mendatangi KPP Pratama Boyolali. Mereka menuntut klarifikasi masalah UD Paramono dan masa depan usaha mereka.
Awal mula persoalan Pramono dengan kantor pajak terjadi sembilan tahun lalu saat dia berencana melebarkan usahanya. Ia ingin menjadi pemasok susu bagi pabrik-pabrik industri pengolahan susu. Salah satu syaratnya harus memiliki nomor pokok wajib pajak (NPWP).
Bagi Pramono yang hanya lulusan SD, urusan pajak adalah persoalan rumit. Ia lalu menyerahkan masalah pajaknya pada petugas kantor pajak.
Singkat cerita ia dikenakan pajak Rp10 juta. Nilainya segitu terus sampai tahun 2017. Tahun 2018, dengan alasan persaingan usaha sedang ketat, ia minta keringanan pajak menjadi Rp 5 juta.
Nah, sejak 2019 dan 2020, Pramono tidak menerima panggilan dari kantor pajak. Dia juga tidak mendatangi kantor pajak dalam periode tersebut. Hal itu berujung pada pemanggilan dirinya melalui surat dari KPP Pratama Surakarta pada 2021. Hitung punya hitung, ia dinyatakan telah menunggak pajak sebesar Rp2 miliar.
Pramono langsung lemas. Ia cuma bisa bilang tak sanggup membayarnya. Beberapa waktu kemudian, Pramono dipanggil lagi KPP Pratama Surakarta. Dari Rp 2 miliar, pajak yang mesti dibayarkan berkurang menjadi Rp 670 juta. Namun, Pramono menganggapnya masih terlalu besar.
Masalah pajak juga dialami seorang peternak ayam bernama Nuke Limanov. Melalui akun media sosialnya belum lama ini, pengusaha wanita itu bercerita sudah setahun ini dirinya diperiksa petugas pajak dan harus bolak-balik ke kantor pajak yang membuatnya sampai stres.
Nuke menceritakan dirinya kaget, sedih, sekaligus bingung saat mengetahui total pajak penghasilan (PPh) tahun 2020 yang harus dia bayar kurang lebih Rp370 juta dengan sanksi administrasi Rp150 juta. Sehingga, total pajak yang harus ia bayar menembus angka Rp520 juta.
Nuke pun menjelaskan bahwa pajak itu merupakan pajak pribadi. Sebab pada tahun 2020, ia belum memiliki badan usaha.
Tahun 2020, Nuke mengambil ayam dari perusahaan yang mengharuskannya membuat NPWP (nomor pokok wajib pajak) sehingga bisa terlacak pengeluaran yang ia lakukan.
Saat itu, pembelian yang dikeluarkan Nuke per bulan bisa mencapai Rp3,6 miliar.
Namun omzet yang didapatkan juga tidak begitu besar, karena Nuke harus membayar biaya ekspedisi, pengembalian ayam yang tidak sesuai orderan, dan biaya lain-lain.
Sayangnya, pada tahun 2020, catatan administrasi Nuke sangat minim. Dia tidak memiliki catatan pengembalian orderan yang tidak sesuai dan pengeluaran lainnya.
Sementara pihak pajak hanya menerima pembelian atau pengeluaran yang memiliki bukti transaksi, sehingga pihak pajak tidak tahu menahu tentang pengeluaran Nuke yang tidak memiliki bukti.
Pada akhirnya, kantor pajak menetapkan Nuke harus membayar pajak tahun 2020 sebesar Rp370 juta yang akan dicicil selama setahun. Sementara untuk sanksi administrasi bisa diajukan pengurangan setelah pajak dilunasi.
Jangan Mentang-Mentang Perolehan Pajak Masih Negatif
Masalah pajak niscaya bukan hanya dihadapi Pramono dan Nuke. Boleh jadi masih banyak pengusaha UMKM bernasib serupa. Ini tentu harus mendapat perhatian pemerintah. Betul, seperti kata Menteri Keuangan Sri Mulyani tahun ini adalah masa sulit untuk menarik pajak. Dalam Rapat Kerja bersama Komisi XI DPR RI, Rabu, 13 November, ia mengungkapkan per Oktober 2004 perolehan pajak baru mencapai Rp1,517,53 triliun. Angka ini turun 0,4% dari realisasi pada bulan Oktoiber tahun lalu. “Pertumbuhan pajak kita masih negatif growth,” tuturnya.
Namun, itu bukan alasan bagi pemerintah untuk bertindak semena-mena terhadap wajib pajak. Terutama bagi pengusaha UMKM yang notabene punya andil dalam menyediakan lapangan kerja. Jangan lupa pemerintah sendiri tak sanggup membuka lapangan kerja sesuai pertumbuhan angkatan kerja. Pada periode 2009-2014, Indonesia berhasil menciptakan 15,6 juta tenaga kerja formal baru. Namun, pada periode 2019-2024, penciptaan lapangan kerja hanya mencapai 2 juta orang.
Pemerintah jangan menggunakan kacamata kuda dalam menguber wajib pajak. Coba koreksi diri dulu. Rakyat tak akan lupa dengan gaya hidup mewah yang dipertontonkan petugas pajak Gayus Tambunan, Rafael Alun dan beberapa nama lainnya dalam mengamankan kewajiban wajib pajak kelas kakap.
Kalau Presiden Prabowo saja sudah bersedia menghapuskan utang UMKM di bidang pertanian, perkebunan, peternakan dan kelautan yang kesulitan ekonomi, semestinya Direktorat Jenderal Pajak juga dapat melonggarkan kebijakannya.
Ingat, berapa puluh ribu orang yang menggantungkan hidupnya ke bisnis kelas rakyat itu. Jika usaha kelas bawah itu tak mendapat perhatian, ambisi Presiden Prabowo Subianto meraih angka pertumbuhan 8 persen semakin sulit terjangkau. Dan ambisi Indonesia Emas 2045 pun bisa-bisa hanya jadi angan-angan. (*)