Minggu, Desember 8, 2024
No menu items!

Seribu Wajah Muhammadiyah

Muhammadiyah tetap akan efektif dan efisien jika mampu mengelola konflik melalui literasi yang berorientasi pemikiran dan perbuatan.

Must Read

MUHAMMADIYAH lahir di Yogyakarta pada 8 Dzulhijjah 1330 H, bertepatan dengan 18 November 1912. Pendirinya adalah Kiai Haji (KH) Ahmad Dahlan, bersama sahabat dekat dan para muridnya, antara lain KH Sujak, KH Sangidu, dan H Fahroedin.

Pendirian Muhammadiyah direstui Sultan Hamengkubuwono VII dan didukung Ketua Budi Utomo Dokter Sutomo. KH Ahmad Dahlan adalah abdi dalem, khatib amin di lingkungan Kasultanan Yogyakarta. Dia pedagang batik di pusat kota Yogyakarta tempat mukimnya kaum santri, Kauman.

Pergaulannya luas melintasi kultur kesehariannya. KH Ahmad Dahlan suka datang ke Sekolah Katholik di Muntilan, menemui Pastur Van Lith, juga berteman dengan politisi Haji Umar Said Tjokroaminoto, tokoh Syarikat Islam. Bahkan Semaun dan Alimin, dua pentolan komunis Indonesia di awal abad XX, merupakan teman-temannya di Syarikat Islam pada masa kejayaannya, 1914-1919.

KH Ahmad Dahlan berbungan baik dengan KH Hasyim Asy’ari, pendiri utama Nadlatul Ulama (NU). Keduanya sempat nyantri di Pondok Pesantren Semarang, milik KH Sholeh Darat atau bernama asli KH Muhammad Sholeh bin Umar Al Samarani. Begitupun ketika mukim dan belajar agama di Makkah, KH Ahmad Dahlan bersahabat dengan ulama kelahiran di Jombang ini.

Kilas mengenai siapa pendiri Muhammadiyah ini ingin memberikan tapak  sejarah kemudian mengapa Muhammadiyah bisa disebut Seribu Wajah. Pandanglah, Muhammadiyah bisa disebut Gerakan Pendidikan dengan sekian ribu taman kanak-kanak,  sekolah dasar sampai universitas.

Orang yang menyebut Muhammadiyah sebagai organisasi kesehatan dengan ratusan klinik sampai rumah sakit. Disebut pula sebagai organisasi sosial lantaran saking banyaknya mengelola panti asuhan.

Muhammadiyah bukan semata organisasi keagamaan semacam pusat kajian Islam atau taklim pada umunya. Dia bergerak di lapangan sosial, pendidikan, kesehatan, beladiri/ pencak silat kepemudaan dan kewanitaan.

Bahkan Muhammadiyah melibatkan diri dalam urusan politik. Simak saja sejak Syarikat Islam, Partai Islam Indonesia, Majelis Islam ‘Ala Indonesia (MIAI), Masyumi zaman Jepang, Putera dengan empat serangkai (Soekarno, Hatta, Ki Hajar Dewantoro, KH Mas Mansyur) lalu, Masyumi pasca kemerdekaan, Parmusi hingga era reformasi dengan membidani kelahiran PAN. 

Namun Muhammadiyah sejak dan sampai kapan pun, tetaplah bukan partai politik  meski tidak pernah melarikan diri dari pelibatan mengatasi persoalan negara dan bangsa. Muhammadiyah secara organisasi tidak akan terlibat. Tetapi para tokoh Muhammadiyah seperti KH Ahmad Dahlan, KH Mas Manyur, Ki Bagus Hadikusumo, KH Abdul Kahar Muzakir, Kasman Singodimejo, Ir Djuanda, Mulyadi Djojomartono, Buya Hamka sampai Amien Rais, dan terakhir enam tokoh Muhammadiyah mutakhir yang dipercaya menjadi menteri Kabinet Merah Putih Prabowo Subianto, adalah tonggak-tonggak politik Muhammadiyah dalam merawat eksistensi dan keberlanjutan Republik Indonesia.

Betapa majemuknya konflik terjadi, Muhammadiyah mampu mengelolanya. Muhammadiyah tak pernah terancam perpecahan, tetap satu, sebagaimana diteriakkan Bung Karno: Sekali Muhammadiyah tetap Muhammadiyah. Semakin lama, kian mencintai Muhammadiyah.

Kedua tokoh bangsa yakni Soekarno dan Djuanda, berpesan jangan sampai ia dilupakan sebagai orang Muhammadiyah. Keduanya itu pernah menjadi guru dan pendiri sekolah  Muhammadiyah, di Bengkulu dan Jakarta. Soekarno sampai minta agar kelak meninggal dunia, jenazahnya diselubungi bendera Muhammadiyah, yang bersimbol matahari berhias Kalimah Thoyibah – Syahadatain.

Muhammadiyah lewat tampilan para tokohnya, baik di pucuk pimpinan hingga cabang dan rantingnya telah dibuktikan oleh sejarah: Mampu mengelola konflik, terbuka untuk metodologi gerakan dakwahnya, tidak menabukan kritik dan selalu bermusyawarah.

Muhammadiyah menarik bagi siapa pun yang tidak mengedepankan permusuhan. Dari penyikapan terhadap  Barat dan kulturalnya sampai kalangan tradisionalis, Muhammadiyah mengedepankan tabayyun dengan semangat mencerdaskan dan  berkemajuan.

Dunia yang fana dan akhirat yang abadi, bagi Muhammadiyah bukan ditempatkan secara dikotomis yang saling berhadapan. Keduanya adalah satu kesatuan proses dan jalan mencapai keridaan-Nya.

Ulama dan masa lalu tetap dirujuk, meski tidak perlu harus betekuk- lutut. Qur’an dan Sunah diprioritaskan mendahului pendapat ulama yang dibatasi konteks zaman. Ilmu dan amal menjadi nafas perjuangan dengan diotaki aqidah dan qolbu yang ikhlas, sehingga apa yang diperbuat bukan berorientasi kepada diri sendiri melainkan menjadi gerakan dan milik organisasi.

Di sini keikhlasan diuji sepanjang masa bagi siapa pun yang berkhidmat dan mewakafkan dirinya kepada Muhammadiyah untuk Islam sebagai agama dan tanah air yang kita diami untuk hidup sehari-hari. Muhammadiyah bukan federasi dari orang dan sekumpulan orang, namun penyerahan diri sebagai unifikasi  gerakan dakwah amar ma’ruf nahi munkar dalam segala bentuk dan manifestasinya.

Jika pengelolaan konflik bisa dilakukan dengan pembelajaran literasi yang berorientasi pada pemikiran dan perbuatan untuk pembaharuan terus menerus, Muhammadiyah dengan berapa pun wajah, insyaallah kian efektif dan efisien dalam lindungan pertolongan dan petunjuk Allah subhanahu wa ta’ala.

Selamat Milad ke-112 Muhammadiyah!

Kisah Sri Sultan Memerintahkan Kiai Ahmad Dahlan Pergi Haji

JAKARTAMU.COM | Suasana milad masih mewarnai Muhammadiyah saat ini. Organisasi yang didirikan KH Ahmad Dahlan ini lahir pada...

More Articles Like This