Minggu, November 10, 2024
No menu items!

Para Tokoh Berebut Jadi Menteri, Abu Nawas Berpura-pura Gila

Abu-Ali Al-Hasan bin Hani Al-Hakami (756-814) dikenal sebagai Abu-Nawas. Ia seorang pujangga Arab. Dilahirkan di kota Ahvaz, Persia. Darah Arab dan Persia mengalir di tubuhnya. Dia penyair yang digambarkan sebagai sosok bijaksana sekaligus kocak.

Must Read

PRESIDEN terpilih Prabowo Subianto sudah memanggil banyak tokoh yang bakal didudukkan di kursi menteri. Wajah para tokoh itu sumringah. Senang. Hal ini berbeda sama sekali dengan Abu Nawas. Dia justru menolak menjadi pejabat tinggi. Dan ia pun mencari cara bagaimana menolak tanpa menyinggung hati baginda raja.

Alkisah, ayah Abu Nawas adalah Penghulu Kerajaan Baghdad bernama Maulana. Pada suatu hari sang ayah yang sudah tua itu sakit parah dan akhirnya meninggal dunia.

Abu Nawas dipanggil ke istana. la diperintah Raja untuk mengubur jenazah ayahnya itu sebagaimana adat Syaikh Maulana. Apa yang dilakukan Abu Nawas hampir tiada bedanya dengan Kadi Maulana baik mengenai tata cara memandikan jenazah hingga mengafani, menyalati dan mendoakannya. Itu sebabnya Sultan bermaksud mengangkat Abu Nawas menjadi Kadi atau penghulu menggantikan kedudukan ayahnya.

Namun, demi mendengar rencana sang Sultan. Tiba-tiba saja Abu Nawas yang cerdas itu tampak berubah menjadi gila.

Usai upacara pemakaman ayahnya, Abu Nawas mengambil sepotong batang pisang dan diperlakukannya seperti kuda. Ia menunggang kuda dari batang pisang itu sambil berlari-lari dari kuburan bapaknya menuju rumahnya. Orang yang melihat menjadi terheran-heran dibuatnya.

Pada hari yang lain ia mengajak anak-anak kecil dalam jumlah yang cukup banyak untuk pergi ke makam ayahnya. Dan di atas makam sang ayah ia mengajak anak-anak bermain rebana dan bersuka cita.

Kini semua orang semakin heran atas kelakuan Abu Nawas. Mereka menganggap Abu Nawas sudah menjadi gila karena ditinggal mati oleh ayahnya.

Pada suatu hari ada beberapa orang utusan dari Sultan datang menemui Abu Nawas. “Hai Abu Nawas kau dipanggil Sultan untuk menghadap ke istana,” kata wazir utusan Sultan.

“Buat apa sultan memanggilku? Aku tidak ada keperluan dengannya,” jawab Abu Nawas dengan entengnya seperti tanpa beban.

“Hai Abu Nawas kau tidak boleh berkata seperti itu kepada rajamu.”

“Hai wazir, kau jangan banyak cakap. Cepat ambil ini kudaku ini dan mandikan di sungai supaya bersih dan segar,” kata Abu Nawas sambil menyodorkan sebatang pohon pisang yang dijadikan kuda-kudaan.

Si wazir hanya geleng-geleng kepala melihat kelakuan Abu Nawas. “Abu Nawas, kau mau apa tidak menghadap Sultan?” desak wazir

“Katakan kepada rajamu, aku sudah tahu maka aku tidak mau,” jawab Abu Nawas.

“Apa maksudnya Abu Nawas?” tanya wazir penasaran.

“Sudah pergi sana, bilang saja begitu kepada rajamu,” sergah Abu Nawas sembari menyaruk debu dan dilempar ke arah si wazir dan teman-temannya.

Si wazir segera menyingkir dari halaman rumah Abu Nawas. Mereka laporkan keadaan Abu Nawas yang seperti tak waras itu kepada Sultan.

Dengan geram Sultan berkata, “Kalian bodoh semua, hanya menghadapkan Abu Nawas kemari saja tak becus! Ayo pergi sana ke rumah Abu Nawas bawa dia kemari dengan suka rela ataupun terpaksa.”

Si wazir segera mengajak beberapa prajurit istana. Dan dengan paksa Abu Nawas dihadirkan di hadapan raja.

Namun lagi-lagi di depan raja Abu Nawas berlagak pilon bahkan tingkahnya ugal-ugalan tak selayaknya berada di hadapan seorang raja.

“Abu Nawas bersikaplah sopan!” tegur Baginda.

‘Ya Baginda, tahukah Anda..?”

“Apa Abu Nawas..?”

“Baginda, terasi itu asalnya dari udang!”

“Kurang ajar kau menghinaku Nawas!”

“Tidak Baginda! Siapa bilang udang berasal dari terasi?”

Baginda merasa dilecehkan, ia naik pitam dan segera memberi perintah kepada para pengawalnya. “Hajar dia! Pukuli dia sebanyak dua puluh lima kali”

Wah-wah! Abu Nawas yang kurus kering itu akhirnya lemas tak berdaya dipukuli tentara yang bertubuh kekar.

Usai dipukuli Abu Nawas disuruh keluar istana. Ketika sampai di pintu gerbang kota, ia dicegat oleh penjaga.

“Hai Abu Nawas, tempo hari ketika kau hendak masuk ke kota ini kita telah mengadakan perjanjian. Masak kau lupa pada janjimu itu? Jika engkau diberi hadiah oleh Baginda maka engkau berkata: Aku bagi dua; engkau satu bagian, aku satu bagian. Nah, sekarang mana bagianku itu?”

“Hai penjaga pintu gerbang, apakah kau benar-benar menginginkan hadiah Baginda yang diberikan kepada tadi?”

“Iya, tentu itu kan sudah merupakan perjanjian kita?”

“Baik, aku berikan semuanya, bukan hanya satu bagian!”

“Wah, ternyata kau baik hati Abu Nawas. Memang harusnya begitu, kau kan sudah sering menerima hadiah dari Baginda.”

Tanpa banyak cakap lagi Abu Nawas mengambil sebatang kayu yang agak besar lalu orang itu dipukulinya sebanyak dua puluh lima kali. Tentu saja orang itu menjerit-jerit kesakitan dan menganggap Abu Nawas telah menjadi gila.

Setelah penunggu gerbang kota itu pingsan Abu Nawas meninggalkannya begitu saja, ia terus melangkah pulang ke rumahnya.

Sementara itu si penjaga pintu gerbang mengadukan nasibnya kepada Sultan.

‘Ya, Tuanku Syah Alam, ampun beribu ampun. Hamba datang kemari mengadukan Abu Nawas yang telah memukul hamba sebanyak dua puluh lima kali tanpa suatu kesalahan. Hamba mohon keadilan dari Tuanku Baginda.”

Baginda segera memerintahkan pengawal untuk memanggil Abu Nawas. Setelah Abu Nawas berada di hadapan Baginda ia ditanya. “Hai Abu Nawas! Benarkah kau telah memukuli penunggu pintu gerbang kota ini sebanyak dua puluh lima kali pukulan?”

Berkata Abu Nawas, “Ampun Tuanku, hamba melakukannya karena sudah sepatutnya dia menerima pukulan itu. “

“Apa maksudmu? Coba kau jelaskan sebab musababnya kau memukuli orang itu?” tanya Baginda.

“Tuanku,” kata Abu Nawas. “Hamba dan penunggu pintu gerbang ini telah mengadakan perjanjian bahwa jika hamba diberi hadiah oleh Baginda maka hadiah tersebut akan dibagi dua. Satu bagian untuknya satu bagian untuk saya. Nah pagi tadi hamba menerima hadiah dua puluh lima kali pukulan, maka saya berikan pula hadiah dua puluh lima kali pukulan kepadanya.”

“Hai penunggu pintu gerbang, benarkah kau telah mengadakan perjanjian seperti itu dengan Abu Nawas?” tanya Baginda.

“Benar Tuanku,” jawab penunggu pintu gerbang. “Tapi hamba tiada mengira jika Baginda memberikan hadiah pukulan.”

“Hahahahaha dasar tukang peras, sekarang kena batunya kau!” sahut Baginda. “Abu Nawas tiada bersalah, bahkan sekarang aku tahu bahwa penjaga pintu gerbang kota Baghdad adalah orang yang suka memeras orang! Kalau kau tidak mengubah kelakuan burukmu itu sungguh aku akan memecat dan menghukum kamu!”

“Ampun Tuanku, ” sahut penjaga pintu gerbang dengan gemetar.

Abu Nawas berkata, “Tuanku, hamba sudah lelah, sudah mau istirahat, tiba-tiba diwajibkan hadir di tempat ini, padahal hamba tiada bersalah. Hamba mohon ganti rugi. Sebab jatah waktu istirahat hamba sudah hilang karena panggilan Tuanku. Padahal besok hamba harus mencari nafkah untuk keluarga hamba.”

Sejenak Baginda melengak, terkejut atas protes Abu Nawas, namun tiba-tiba ia tertawa terbahak-bahak, “Hahahaha… jangan khawatir Abu Nawas.”

Baginda kemudian memerintahkan bendahara kerajaan memberikan sekantong uang perak kepada Abu Nawas. Abu Nawas pun pulang dengan hati gembira. Tetapi sesampai di rumahnya Abu Nawas masih bersikap aneh dan bahkan semakin nyentrik seperti orang gila sungguhan.

Pada suatu hari Raja Harun Al Rasyid mengadakan rapat dengan para menterinya. “Apa pendapat kalian mengenai Abu Nawas yang hendak kuangkat sebagai kadi?”

Wazir atau perdana menteri berkata, “Melihat keadaan Abu Nawas yang semakin parah otaknya maka sebaiknya Tuanku mengangkat orang lain saja menjadi kadi. “

Menteri-menteri yang lain juga mengutarakan pendapat yang sama. “Tuanku, Abu Nawas telah menjadi gila karena itu dia tak layak menjadi kadi.”

“Baiklah, kita tunggu dulu sampai dua puluh satu hari, karena ayahnya baru saja mati. Jika tidak sembuh-sembuh juga bolehlah kita mencari kadi yang lain saja.”

Setelah lewat satu bulan Abu Nawas masih dianggap gila, maka Sultan mengangkat orang lain menjadi kadi atau penghulu kerajaan Baghdad.

Konon dalam suatu pertemuan besar ada seseorang bernama Polan yang sejak lama berambisi menjadi Kadi, la mempengaruhi orang-orang di sekitar Baginda untuk menyetujui jika ia diangkat menjadi Kadi, maka tatkala ia mengajukan dirinya menjadi Kadi kepada Baginda maka dengan mudah Baginda menyetujuinya.

Begitu mendengar Polan diangkat menjadi kadi maka Abu Nawas mengucapkan syukur kepada Tuhan. “Alhamdulillah aku telah terlepas dari balak yang mengerikan”.

Tapi.,.. sayang sekali kenapa harus Polan yang menjadi Kadi, kenapa tidak yang lain saja. “

Mengapa Abu Nawas bersikap seperti orang gila? Ceritanya begini:

Pada suatu hari ketika ayahnya sakit parah dan hendak meninggal dunia ia memanggil Abu Nawas. Berkata bapaknya, “Hai anakku, aku sudah hampir mati. Sekarang ciumlah telinga kanan dan telinga kiriku. “

Abu Nawas segera menuruti permintaan terakhir ayahnya. la cium telinga kanan sang ayah, ternyata berbau harum, sedangkan yang sebelah kiri berbau sangat busuk. “Bagaimana anakku? Sudah kau cium?”

“Benar, Ayah!”

“Ceritakan dengan sejujurnya, baunya kedua telingaku.”

“Aduh Ayah, sungguh mengherankan, telinga Ayah yang sebelah kanan berbau harum sekali. Tapi yang sebelah kiri kok baunya amat busuk?”

“Hai anakku Abu Nawas, tahukah apa sebabnya bisa terjadi begini?”

“Wahai ayahku, cobalah ceritakan kepada anakmu ini.”

Berkata Syekh Maulana “Pada suatu hari datang dua orang mengadukan masalahnya kepadaku. Yang seorang aku dengarkan keluhannya. Tapi yang seorang lagi karena aku tak suka maka tak kudengar pengaduannya. Inilah risiko menjadi Kadi (penghulu). Jika kelak kau suka menjadi Kadi maka kau akan mengalami hal yang sama, namun jika kau tidak suka menjadi Kadi maka buatlah alasan yang masuk akal agar kau tidak dipilih sebagai Kadi oleh Sultan. Tapi tak bisa tidak Sultan pastilah tetap memilihmu sebagai Kadi. “

Nah, itulah sebabnya Abu Nawas pura-pura menjadi gila. Hanya untuk menghindarkan diri agar tidak diangkat menjadi kadi, seorang kadi atau penghulu pada masa itu kedudukannya seperti hakim yang memutus suatu perkara.

Walaupun Abu Nawas tidak menjadi Kadi namun dia sering diajak konsultasi oleh sang Raja untuk memutus suatu perkara. Bahkan ia kerap kali dipaksa datang ke istana hanya sekadar untuk menjawab pertanyaan Baginda Raja yang aneh-aneh dan tidak masuk akal. (*)

More Articles Like This