JAKARTAMU.COM | Indonesia mendapat kesepakatan pendanaan hijau sebesar €1,2 miliar atau sekitar Rp20,18 triliun untuk pengembangan energi bersih dalam KTT iklim PBB (COP29) yang digelar di Baku, Azerbaijan.
Pendanaan hijau, yang menjadi agenda pembahasan utama pada COP29, adalah pendanaan yang dibutuhkan untuk mengatasi krisis iklim.
Misalnya untuk peralihan ke energi bersih, membangun infrastruktur yang tahan terhadap perubahan iklim, hingga membangun sistem peringatan dini.
COP29 telah menghasilkan kesepakatan baru berupa dukungan finansial dari negara-negara kaya kepada negara-negara yang terkena dampak terburuk di belahan bumi selatan, salah satunya seperti yang didapat Indonesia.
Dana hijau yang didapat Indonesia sebesar €1,2 miliar didapat dari Kreditanstalt für Wiederaufbau (KfW) untuk sektor kelistrikan.
Berdasarkan penandatanganan nota kesepahaman antara PLN dengan KfW, dana tersebut disepakati untuk pengembangan proyek energi bersih yakni Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Pumped Storage dan transmisi yang menghubungkan ke pembangkit hijau.
Utusan khusus presiden yang memimpin delegasi Indonesia, Hashim Djojohadikusumo mengatakan bahwa pemerintah berkomitmen mengakselerasi transisi energi.
“Kami telah memiliki strategi baru selama lima tahun ke depan dengan mencapai pertumbuhan ekonomi minimal 8% secara berkelanjutan,” tegas Hashim pada Jumat (15/11) dikutip dari Detik.com.
Dia mengatakan bahwa dalam 15 tahun ke depan, kapasitas pembangkit energi terbarukan Indonesia ditargetkan bertambah 75% dari total penambahan kapasitas listrik sebesar 100 gigawatt (GW).
Mengutip Tempo, Indonesia diproyeksikan membutuhkan pembiayaan hijau Indonesia mencapai US$281 miliar (sekitar Rp265,3 triliun) per tahun.
Sedangkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) diproyeksikan hanya bisa memenuhi sekitar Rp37,9 triliun dari kebutuhan yang ada.
Namun, pernyataan Hashim soal “pertumbuhan ekonomi 8% secara berkelanjutan” dikritik oleh Wahana Lingkungan Hidup (Walhi).
Target ambisius itu justru dikhawatirkan akan menghasilkan emisi karbon yang sangat besar.
Misalnya saja hilirisasi nikel yang tetap akan digenjot akan menghancurkan hutan-hutan di Sulawesi dan Maluku, pembangunan food estate untuk pangan dan kebun tebu di Papua yang akan menghancurkan satu juta hektar hutan,” tulis Walhi dalam keterangan tertulis.
Walhi juga mempertanyakan komitmen pemerintah Indonesia yang disampaikan dalam COP29.
Hashim dikritik karena berbicara “seperti pedagang”, lebih banyak membahas bagaimana krisis iklim diatasi dengan skema dagang seperti potensi kredit karbon, teknologi penangkapan karbon (CCS/CCUS), dan urgensi pendanaan untuk proyek reforestasi.
“Dalam pidato di hadapan pemimpin dunia tersebut, hampir tak ada pernyataan terkait upaya serius-ambisius pemerintah dalam penurunan emisi dan perlindungan rakyat dari dampak krisis iklim,” kata Walhi melalui keterangan tertulis.
Pernyataan itu, menurut Walhi, memperlihatkan bahwa kepentingan bisnis korporasi “lebih diutamakan” dibanding kepentingan lingkungan dan keselamatan masyarakat dari dampak krisis iklim. (BBC)