INDONESIA bertiwikrama di ujung Perang Dunia II (1939–1945), mengisyaratkan siapa pemenangnya. Sekutu mengalahkan Jerman dan Italia beserta sekutunya di Eropa, serta menekan Jepang di Asia.
Indonesia dan seluruh kawasan Asia Tenggara mulai disiapkan Jepang agar bersedia membantunya menghadapi Sekutu yang berporos pada Inggris dan Amerika Serikat. Salah satunya adalah di wilayah barat dalam komando militer Jepang, dengan Angkatan Darat IV berpangkalan di Singapura dan Angkatan Laut di wilayah timur berpusat di Surabaya.
Tentara PETA (Pembela Tanah Air, 1943) yang disusun dan dilatih di Bogor bersama Heiho dirasa belum cukup. Segera dibentuk Polisi Istimewa untuk membantu Kenpeitai. Kemudian, dibentuk pula milisi Muslim: Hizbullah dan Sabilillah.
Kekuatan militer lokal yang komandonya sebatas di tiap karesidenan (himpunan 4–6 kabupaten) dimaksudkan untuk memperkuat solidaritas akar rumput di bawah jaringan Jawa Hokokai, berkembang menjadi Putera (Pusat Tenaga Rakyat). Semua partai politik dilarang, sementara kekuatan Islam Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama yang berbasis aktivitas sosial, pendidikan, dan kesehatan dibantu.
Puncak upaya pemerintah militer Jepang untuk mengambil hati Indonesia adalah pembentukan Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK) atau Dokuritzu Junbi Chosakai, yang beranggotakan 62 tokoh bangsa lintas suku, agama, dan etnis pendatang Timur Asing (Tionghoa dan Arab).
Sejak 1944, KH Hasyim Asy’ari dari Nahdlatul Ulama diangkat menjadi Petinggi Urusan Agama (Islam) semacam menteri agama, yang sehari-hari dijalankan di Jakarta oleh puteranya, KH Wahid Hasyim (ayah Gus Dur), kala itu berusia 31 tahun. Pada Shumubu (Kementerian Agama), dua tokoh Muhammadiyah menjadi wakil menteri (M. Rasyidi) dan penasehat (KH Kahar Muzakkir). Sementara itu, KH Mas Mansyur—Ketua PB Muhammadiyah—menjadi tokoh Putera bersama Ir. Soekarno, Drs. Mohammad Hatta, dan Ki Hadjar Dewantara yang dikenal sebagai Empat Serangkai.
Seiring pembangunan struktur militer dan sipil domestik, pemerintahan pendudukan militer juga memberikan peluang bagi kekuatan politik Islam lengkap dengan sayap militernya. Masyumi didirikan pada 1943 sebagai forum persatuan Islam sekaligus berada di bawah kontrol pemerintah Jepang (berbeda dengan Partai Politik Islam Masyumi pasca-kemerdekaan yang didirikan 7 November 1945). Masyumi ini dibentuk untuk menggantikan MIAI yang dianggap kurang agresif.
Segala daya upaya dikerahkan Jepang agar segenap unsur bangsa di bekas tanah jajahan Hindia Belanda bersedia membantu Jepang dalam Perang Dunia II menghadapi front Sekutu yang diperkirakan akan menyerangnya.
Menjelang pertengahan 1945, Jepang memberikan kebebasan kepada bangsa jajahannya ini untuk menyanyikan “Indonesia Raya” dan mengibarkan Merah Putih bersama bendera Hinomaru Jepang.
Ketika Hiroshima dibom Amerika Serikat pada 6 Agustus 1945 dan Filipina telah diduduki Jenderal Douglas MacArthur, Jenderal Terauchi—Komandan Angkatan Darat Jepang di Asia Tenggara—pada 7 Agustus 1945 justru mengundang tokoh terkemuka Indonesia ke Dalat, rumah peristirahatannya. Mereka adalah Soekarno, Hatta, dan Rajiman Wedyodiningrat (Ketua BPUPK) yang dijanjikan kemerdekaan Indonesia pada 24 Agustus.
Namun, tiga hari kemudian Nagasaki mengalami nasib yang sama dengan Hiroshima. Pada 15 Agustus 1945, Kaisar Jepang Tenno Heika menyatakan menyerah tanpa syarat kepada Sekutu.
Ketika Soekarno, Hatta, dan sejumlah tokoh kebangsaan serta Islam yang berkolaborasi dengan Jepang itu masih berharap pada keputusan politik Jepang, kekuatan kiri dari bawah tanah mulai bergerak. Para pemuda yang berpayung pada aktivitas politik kiri seperti Tan Malaka, Sutan Sjahrir, dan Amir Sjarifuddin yang nonkooperatif terhadap Jepang mulai menekan Soekarno-Hatta dan kawan-kawannya.
Mereka mendesak agar janji dan kolaborasi dengan Jepang dibuang. Chairul Saleh, Adam Malik, Eri Sudewo, Sukarni, dan Wikana—baik dari kalangan sosialis kiri maupun kanan, termasuk jaringan PKI bawah tanah pimpinan Amir Sjarifuddin—mendesak agar Soekarno segera memproklamasikan kemerdekaan tanpa menunggu janji Jepang.
Tanggal 15, 16, dan 17 Agustus 1945 menjadi tiga hari kritis dalam menentukan keputusan politik: merdeka atau tidak sama sekali.
Gerakan yang simpang siur ini memuncak pada penculikan Soekarno-Hatta ke Rengasdengklok.
Laksamana Maeda dari Angkatan Laut Jepang mencari alternatif dari kebijakan Angkatan Darat Jepang yang tunduk pada perintah status quo sebagai pihak yang kalah perang.
Di tengah friksi antara Angkatan Darat yang pro status quo dan Angkatan Laut yang cenderung pro kemerdekaan bagi negeri jajahan seperti Indonesia, bara api revolusi mulai menyala.
Di antara pilihan politik untuk mengabaikan perintah fasis Jepang demi mempertahankan status quo seraya menunggu kedatangan Sekutu—yang akan mengembalikan tanah jajahan kepada rezim lama (Belanda)—dan tekad politik untuk menerobos janji persiapan kemerdekaan, pendulum politik bergerak ke arah revolusi.
Perlawanan menjadi jalan keluar dari kebingungan dilematis di lintasan Perang Dunia II. Segala konsekuensi militer dan diplomasi dihadapi ketimbang menunggu “hadiah” kemerdekaan sebagaimana diterima negara-negara tetangga seperti Birma dan Filipina.
Atas kehendak sejarah yang ditulis melalui perjuangan fisik dan diplomasi, kini Indonesia telah lebih dari delapan puluh tahun mengarungi amanah kemerdekaan dengan gejolak separatisme, konflik ideologis, dan perebutan kekuasaan yang tiada henti.
Indonesia terus berusaha membangun struktur demokratis di atas kultur yang masih feodalistis, penuh kekerasan, dan bergaya polisional. Meskipun telah lahir para pemimpin yang hebat, kuat, dan visioner, mereka tetap harus bergelut dengan budaya politik yang dipenuhi subjektivitas, transaksi, dan kultus individu ketimbang menjunjung objektivitas, rasionalitas, dan sistematika.
Ketika negara yang katanya sudah 80 tahun merdeka ini masih dipenuhi birokrat militer dan sipil yang korup, arogan, dan lebih suka menuntut kewajiban rakyat ketimbang memenuhi hak rakyat; ketika hukum hanya diperlakukan sebagai alat politik kekuasaan—bukankah itu bentuk penjajahan yang berpotensi mengundang revolusi kembali? (*)