Oleh Jamal Ismail | Dosen Ilmu Komunikasi – Universitas Ary Ginanjar
PERKEMBANGAN teknologi informasi dalam satu dekade terakhir telah mengubah wajah komunikasi secara radikal. Dari layar gadget, miliaran pesan melintas setiap detik, membawa cerita, data, dan opini dari berbagai penjuru dunia. Dunia kini terasa lebih dekat, tetapi juga lebih berisik. Dalam hiruk pikuk ini, muncul pertanyaan besar: apakah komunikasi digital membawa kita pada kemajuan, atau justru menjerumuskan pada jurang masalah baru?
Tak bisa dipungkiri, komunikasi digital membuka akses informasi seluas-luasnya. Siapa pun kini bisa menjadi penyampai berita, pembentuk opini, bahkan penggerak massa, hanya dengan bermodal akun media sosial. Pada titik inilah kebebasan informasi benar-benar terjadi. Tidak lagi hanya media besar yang memegang kendali narasi. Warga biasa atau biasa disebut netizen bisa mengangkat isu yang mungkin lepas dari perhatian publik.
Namun, di balik euforia kebebasan itu, ada sisi gelap yang jarang dibicarakan secara serius. Informasi di era digital bergerak terlalu cepat, sering kali tanpa proses verifikasi yang memadai. Hoaks, ujaran kebencian, dan fitnah bisa menyebar lebih cepat daripada klarifikasi resmi. Bahkan, kebenaran sering kali tenggelam oleh narasi yang lebih sensasional, walaupun kebenaran masih dalam perdebatan.
Persoalan tidak berhenti di situ. Algoritma platform digital yang dirancang untuk menjaga perhatian pengguna justru menciptakan “gelembung informasi” atau echo chamber. Kita hanya disuguhi konten yang sejalan dengan preferensi kita, membuat sudut pandang kita semakin sempit. Akibatnya, ruang dialog mengecil, dan polarisasi di masyarakat menguat.
Di sisi lain, privasi pribadi menjadi mata uang baru di era digital. Setiap klik, like, dan pencarian terekam rapi, menjadi komoditas bagi perusahaan teknologi. Tanpa disadari, data pribadi kita diperjualbelikan untuk kepentingan komersial maupun politik. Masyarakat sering kali baru sadar ketika menjadi korban penipuan, doxing, atau pencurian identitas. Hari ini dalam sudut pandang “Algoritma” preferensi tidak melulu tentang keberpihakan atau kesamaan pendapat tetapi ketidak suka dan ketidak setujuan menjadi hal yang mempengaruhi algoritma kita.
Meski begitu, menuduh teknologi sebagai biang keladi bukanlah solusi. Masalahnya bukan pada perangkat atau platform, melainkan pada cara kita menggunakannya. Literasi digital yang rendah membuat pengguna mudah terjebak dalam arus informasi yang memanipulasi emosi. Celakanya, banyak yang tidak sadar sedang dimanipulasi.
Di tengah tantangan ini, kemampuan berkomunikasi secara kritis menjadi senjata utama. Masyarakat harus mampu memilah informasi, memahami konteks, dan menjaga etika dalam berinteraksi di ruang digital. Kecepatan tidak boleh mengorbankan akurasi, dan kebebasan berekspresi harus berjalan beriringan dengan tanggung jawab moral.
Bagi pelaku bisnis, komunikasi digital adalah pisau bermata dua. Strategi marketing yang kreatif bisa mendongkrak citra dan penjualan, tetapi kesalahan sekecil apa pun bisa menjadi krisis reputasi yang viral dalam hitungan jam. Perusahaan yang cerdas akan membangun tim komunikasi digital yang tangguh, bukan sekadar aktif di media sosial.
Pemerintah pun menghadapi dilema yang sama. Di satu sisi, teknologi digital menjadi alat efektif untuk menjangkau masyarakat secara cepat. Namun, di sisi lain, arus informasi yang tidak terkendali bisa menjadi ancaman bagi stabilitas sosial. Regulasi yang tepat diperlukan, tetapi jangan sampai menjadi dalih untuk membungkam kebebasan berpendapat.
Akhirnya, komunikasi digital adalah medan pertarungan antara peluang dan ancaman. Siapa yang menguasai cara bermain di medan ini, dialah yang akan unggul. Bagi masyarakat Indonesia, kuncinya ada pada literasi, kesadaran etis, dan keberanian untuk keluar dari “gelembung informasi” demi melihat kenyataan yang lebih utuh. Sebab di era ini, ancaman atau peluang bukan ditentukan oleh teknologi, tetapi oleh cara kita menggunakannya. (*)