LANGKAHMU berat saat kau menuju kamar. Mungkin kau merasa bayangan yang menunggu di ruang tamu akan segera menagih jawaban. Tapi aku diam, mematung, hanya menatap punggungmu yang tak pernah selebar dulu. Dulu, punggung itu adalah tempat aku menyandarkan kepenatan, sekarang hanya tembok yang menutupiku dari kebenaran.
Aku tak lagi mencoba bertanya, tak juga memanggilmu. Karena malam ini aku sadar: terkadang jawaban lebih menakutkan daripada keraguan.
Kau menaruh jaket di gantungan. Bau parfum asing itu masih setia menampar hidungku. Pelan, kau memalingkan wajah. Ada sisa air hujan di keningmu, tapi entah kenapa aku merasa itu lebih mirip sisa kebohongan yang tak kau sempat lap.
“Kau tak akan menjelaskan apa pun?” suaraku lirih, patah di ujung kalimat.
Kau menghela napas, menunduk. “Aku lelah,” hanya itu yang kau ucapkan sebelum menutup pintu kamar.
Sunyi kembali menelanku. Rasanya seperti duduk di kursi pengadilan yang tak pernah memulai persidangan. Semua bukti sudah ada, tapi hakim enggan mengetuk palu.
Malam itu aku berjalan ke rak buku, tempat kita dulu menaruh album foto. Jemariku meraba sampul kulit cokelat yang sudah kusam. Kubuka lembar demi lembar: senyum kita di pantai, potret ulang tahun pertamaku setelah menikah, perjalanan singkat ke desa ibumu. Semua tersenyum pada masa lalu, seakan tak percaya apa yang kini terjadi.
Aku menemukan foto saat kita berdua duduk di bangku taman. Kau memelukku dari belakang. Wajahku bersandar di bahumu. Siapa yang menyangka kelak bahu itu akan menjauh, menciptakan jarak yang tak bisa lagi kutempuh?
Aku memejamkan mata. Dalam gelap, aku mencoba mengingat suaramu saat dulu masih bercerita tentang rencanamu. Kau selalu antusias jika membicarakan masa depan. Kau bercerita seolah dunia akan selalu berpihak.
Tapi entah sejak kapan kau berhenti berbicara. Mungkin sejak ponselmu lebih sering kau tatap ketimbang mataku. Mungkin sejak aku berhenti bertanya karena takut terdengar mengganggu.
Pagi datang dengan langit kelabu. Kau duduk di meja makan, menggulir layar ponsel tanpa menoleh. Tanganku gemetar saat menyiapkan kopi. Kali ini aku tak ingin lagi pura-pura tak peduli.
“Aku ingin kau jujur,” kataku.
Kau menahan napas. “Tentang apa?”
“Tentang dia.”
Kau memejamkan mata, seakan kalimatku menusuk jantungmu. Mungkin karena selama ini kita sepakat tak pernah menyebut ‘dia’. Sosok tak bernama yang perlahan menjadi celah di antara kita.
“Aku tak ingin menyakitimu,” jawabmu.
“Pengkhianatan tak pernah datang tanpa luka,” suaraku pecah.
Kau menatapku kali ini, matamu sayu, suaramu parau. “Aku sendiri tak tahu sejak kapan semua ini terjadi. Aku merasa… hilang. Dan dia… dia membuatku merasa dibutuhkan.”
Aku ingin marah, ingin berteriak, tapi yang keluar hanya gumaman yang bahkan tak terdengar. Barangkali inilah puncak ketidakberdayaan: saat kau tahu kebenaran tapi tak punya tenaga untuk menyangkal atau menerima.
Siang itu kau pamit lagi. Katamu ada urusan kerja. Tapi tak ada kerja yang membutuhkan parfum setajam itu. Aku tak menahanmu. Aku hanya berdiri di depan jendela, menatap mobilmu yang menjauh.
Dan entah kenapa, di saat itulah sebuah ingatan menyeruak, begitu tiba-tiba: malam pertama kita di rumah ini. Kau menatapku dengan mata berkaca-kaca, berbisik, “Tak ada rahasia di antara kita.”
Kalimat itu kini terdengar seperti lelucon kejam. Karena tak ada yang lebih menghancurkan dari menyadari: rahasia bukan hanya soal kebohongan yang kau simpan, tapi juga kebenaran yang kau sembunyikan agar aku tetap menunggu.
Malam tiba dengan dingin yang tak biasa. Aku duduk di kursi sudut ruang tamu, memeluk album foto itu. Dalam diam, aku bertanya pada diriku sendiri: apakah cinta selalu berakhir seperti ini? Dengan dua orang yang saling mengenal begitu lama, tapi tak pernah seasing malam ini?
Lampu kamar mati. Kau telah tidur. Mungkin di mimpimu kau bersama dia, atau mungkin kau justru tak memimpikan siapa pun.
Dan di kursi kayu yang berderit, aku masih terjaga, mendengarkan detak jantungku yang kini lebih mirip derik pintu tua yang menunggu ditutup selamanya.
(Bersambung seri ke-4: Gerimis yang Mencuri Kebahagiaan)