JAKARTAMU.COM | Penggunaan istilah mualaf kepada orang yang berpindah agama menjadi Islam menurut Sekretaris Umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah, Abdul Mu’ti perlu didefinisikan ulang.
Sesuai dengan Fatwa Tarjih yang termuat di buku Tanya Jawab Agama (TJA) jilid 4, bahwa tidak selamanya orang yang dianggap mualaf itu diberi predikat mualaf selama-lamanya.
Mengutip surat At Taubah ayat 60, Abdul Mu’ti menyebut kata mualaf dalam ayat tersebut sebagai orang yang hatinya mudah dibujuk atau dirayu. Maka jika dibandingkan dengan orang yang imannya sudah kokoh kiranya sudah tidak pantas disebut mualaf sepanjang hayat.
“Ini juga penting untuk pemahaman kita karena kalau dia terus menjadi mualaf, dia akan berhak menerima zakat, padahal dia sudah kaya raya,” kata Mu’ti yang juga Mendikdasmen ini pada Selasa (12/11) dalam acara Silatnas LDK PP Muhammadiyah di BPMP DKI Jakarta.
Menurutnya, memaknai mualaf itu tidak sekadar mereka yang dulunya belum Islam kemudian masuk Islam. Tapi mualaf juga dapat dipredikatkan kepada orang Islam yang bahkan sejak lahir telah Islam, sedangkan dia tidak memahami Islam dengan baik dan benar.
Mengulik makna “qulubuhum” dalam At Taubah ayat 60, Mu’ti menjelaskan makna dari kata itu adalah hati. Hati dalam Al Qur’an sering dikaitkan untuk menggambarkan inkonsistensi seorang hamba dalam situasi yang dianggap merugikan atau tidak sesuai dengan keinginan.
Maka pembinaan yang dilakukan oleh Muhammadiyah untuk komunitas itu adalah upaya untuk membuat hati mereka tetap teguh dalam Islam. Peneguhan ini bisa dilakukan dengan cara pendekatan sosial dan lain sebagainya. (*)